Verus Amicus Laetus Et Tristis Est

Sahabat sejati selalu ada bersama sahabatnya di kala senang maupun sedih (Latin).

Saat Kita Membuka Mata...

Matahari itu berusaha menyelusup masuk merambah dedaunan hutan.

Tetap Bersiul di Kala Sepi...

Hirup pikuk dunia ini semakin menjauhkan manusia dari keheningan dan membuat segalanya kering.

Sore Kotak-Kotak...

Entitas itu kotak, selalu ada pengkotakan dan selalu ada perbedaan.

Serumit Orang Kita Berpikir...

Terlalu banyak yang dipikirkan, terlalu banyak yang tak terselesaikan.

Melambai dalam Keburaman

Kita masih punya harapan akan masa depan walaupun segalanya tampak buram.

DIA

I want to write your name on that coast :D

Easy Going

Kamis, 27 Februari 2014

METODE ABDUKSI MENURUT CHARLES SANDERS PEIRCE

Charles Sanders Peirce

A.    PEMAHAMAN MENGENAI ABDUKSI : CHARLES SANDERS PEIRCE
Pemahaman abduksi menurut pierce pada awal mulanya dijelaskan sebagai bentuk penyimpulan yang terdiri dari tiga proposisi, yaitu: proposisi tentang suatu hukum (rule), proposisi tentang suatu kasus (case), dan yang terakhir adalah prosposisi tentang kesimpulan (result). Maka silogisme hipotesis yang terdiri dari premis mayor, premis minor dan kesimpulan adalah bentuk penyimpulan dari tiga proposisi tersebut, hukum, kasus, dan kesimpulan itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan abduksi ialah upaya rasional untuk mencari penjelasan untuk setiap fenomena-fenomena yang membingungkan (Puzzling), yang adalah proses yang meliputi penghasilan hipotesis-hipotesis penjelasan dan penyeleksian hipotesis-hipotesis tertentu untuk pemeriksan lebih jauh. Pemikiran ini muncul dan matang sekitar tahun 1893 dalam karya-karya yang dibuat oleh Sanders Pierce.
Setelah tahun 1893 itu, Pierce kembali menyadari bahwa metode yang diinspirasikan itu menjadi metode pemikiran yang ternyata lebih dari suatu bentuk logis. Maksudnya adalah, abduksi dilihat sebagai tahap awal untuk melakukan penelitian ilmiah, yang di dalamnya diawali dari sikap keheranan dan rasa ingin tahu yang besar terhadap peristiwa atau fakta dari semua peneliti itu. Pengalaman ini memunculkan sikap keheranan dan rasa ingn tahu yang besaar. Kemudian berusaha untuk mencari penjelasan mengenai apa yang diteliti dan juga mencoba untuk merumuskan hipotesis berkaitan dengan hasil penelitian tersebut. Boleh disimpulkan bahwa metode pemikiran abduksi ini merupakan bentuk pemikiran yang didasarkan pada fakta dan juga kasus yang terjadi. Peristiwa serta fakta tersebut menjadi titik tolak bagi pemikiran dengan metode abduksi ini, yang kemudian berdarkan fakta tersebut peneliti dapat mencoba merumuskan hipotesisinya dengan maksud untuk menjelaskan fakta tersebut. Sehingga hipotesisi yang dibuat itu sifatnya universal dan juga general. Suatu saat akan terjadi bahwa hipotesis yang sudah dibuat pada awalnya ditentang oleh fakta karena mengandung ketidaksesuaian, maka harus ada hipotesis lain yang harus diajukan kembali. Konseskuensinya adalah banyak hipotesis yang dikemukakan dan ditawarkan untuk menjelaskan suatu fakta yang terjadi.
Abduksi menurut Charles Sanders Pierce, dapat pula dipahami sebagai bentuk pemikiran yang berfungsi untuk menawarkan suatu hipotesis yang tentunya mampu memberikan penjelasan terhadap seluruh peristiwa secara akurat dan mendekati kebenaran. Silogisme abduksi ini biasanya diwali oleh sebuah fakta atau peristiwa, kemudian disimpulkan dalam bentuk hipotesis unyuk menjelasakan peristiwa tersebut. Dalam hal ini charles memberikan 2 macam ciri dari metode abduksi ini. Ciri yang pertama, abduksi menawarkan suatu hipotesis yang memberikan penjelasan atau eksplanasi yang probable. Probable disini maksudnya adalah untuk menjelaskan dan menegaskan bahwa hipotesis itu merumakan satu kemungkinan penjelasan. Sifat dari hipotesis itu adalah sebagai konjektur, atau sering disebut sebagai dugaan. Ilmuwan yang menjelaskan suatu pengetahuan harus benar-benar tahu bahwa, jika pengetahuannya benar, maka fakta yang diobservasi akan dapat dijelaskan secara benar pula. Kebenaran yang terkandung di dalam hipotesis itu harus diuji melalui proses verifikasi. Ciri yang kedua, abduksi pun dapat memberikan eksplanasi atau penjelasan bagi fakta yang mungkin belum dijelaskan atau bahkan tidak dapat dijelaskan dan tidak dapat diobservasi secara langsung. Berdasarkan ciri yang kedua ini, sedikit ada pertentangan dari seorang tokoh Auguste Comte dengan positivisme-nya yang beranggapan bahwa semua hipotesis seharusnya dapat secara langsung menjelaskan fakta. Tapi bagi Pierce, jika hipotesis itu mampu menjelaskan fakta yang bisa diamati, sekaligus juga fakta-fakta yang tidak bisa diamati, itu sudah cukup untuk dianggap sebagai teori.

B.     HUBUNGANNYA DENGAN ILMU PENGETAHUAN
Ilmu pengetahuan sebagai kegiatan akal dan budi manusia yang tentu di dalamnya juga terpengaruh oleh segala peristiwa serta pengalaman hendaknya mampu untuk membuat penjelasan-penjelasan yang dalam bentuk gagasan baru tentang suatu kasus tertentu. Ilmu pengetahuan yang selama ini terbentuk tidak lepas dari 2 unsur, yakni pengalaman yang masuk ke dalamnya dan juga pemikiran orisinil. Pemikiran yang orisinil ini bukan hanya sebatas pengetahuan berpikir secara logis tapi juga dibutuhkan imajinasi yang kuat. Imajinasi yang kuat akan membawa pemikiran kita semakin dekat dengan kebenaran. Pierce pun melihat betapa pentingnya imajinasi untuk membangun ilmu pengetahuan melalui hipotesis-hipotesis yang dibuatnya. Imajinasi dalam proses ini tentunya harus mendapat arahan yang jelas agar fungsinya sebagai pendukung ilmu pengetahuan pun semakin maksimal.
Namun dalam proses abduksi, hipotesis yang dihasilkan hanya berfungsi sebagai pemikiran sementara. Abduksi baru memberi dugaan-dugaan sementara dalam hipotesisnya. Maka pembuktian melalui bentuk induksi dan deduksi masih sangat dibutuhkan dalam proses abduksi ini. 

C.    PENGGUNAAN METODE ABDUKSI
Bagi C. S. Peirce, abduksi merupakan salah satu dari tiga bentuk pokok inferensi, bersama induksi dan deduksi. Abduksi adalah cara pembuktian yang memungkinkan tesis-hipotesis dibentuk. Pembuktian abduksi bertolak dari sebuah kasus partikular menuju sebuah eksplanasi yang mungkin tentang kasus itu. Sebagaimana dalam Aristoteles, demikian pula bagi Peirce abduksi merupakan bentuk inferensi yang probabel, artinya tidak memberikan kepastian mutlak. Bagi Peirce inferensi itu mempunyai bentuk sebagai berikut: Fakta (F) yang menimbulkan tanda tanya diteliti atau diamati. Jika hipotesis (H) benar, F adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Oleh karena itu, H (mungkin) benar.
Pemikiran mendasar di sini adalah bahwa sebuah hal yang mungkin melukiskan dan menggambarkan konsekuensi dari sebuah produk dalam iklan. Berdasarkan pada konsekuensi itu, baik atribut dari produk yang diiklankan ataupun hubungan nilai dari pengguna produk dapat disimpulkan (abduksi) oleh penerima iklan tersebut. Sebagai contoh, di dalam iklan untuk sebuah merek pelembab kulit wanita (Vas***ne). Orang yang berkulit-kencang (tidak keriput) dan putih akan ditampilkan sedang menggunakan merek sebuah pelembab yang diiklankan. Dalam kasus ini, konsekuensi dari sebuah produk ditampilkan (bahwa Vas***ne itu membuat kulit menjadi putih). Dari iklan ini, sebagai contohnya, dapat diperoleh sebuah kesimpulan abduktif yaitu Vas***ne adalah pelembab dengan presentasi “kulit-kencang” (atributnya).
  • Hasil : Pengguna Vas***ne mendapatkan bentuk kulit yang kencang dan putih.
  • Aturan : Pelembab dengan presentasi “kulit-kencang” sangat baik untuk kulit wanita.
  • Kasus : Vas***ne adalah pelembab dengan presentasi “kulit kencang” (kesimpulan informatif)
Apabila kesimpulan abduktif ini tidak secara eksplisit ada di dalam sebuah iklan, maka berarti dibuat secara implisit. Bagaimanapun juga, berdasarkan pada konsekuensi yang digambarkan di dalam iklan itu (Vas***ne adalah sebuah pilihan tepat untuk mendapatkan dan mempertahankan kesehatan dan kulit yang kencang) dan kesimpulan abduktif lain yang dibentuk dalam penggunaan Vas***ne, pengguna produk akan mengingatnya serta tidak bisa dipungkiri bahwa secara konsekuen membanggakan produk ini pada orang lain (nilai-nilai).
  • Hasil : Pengguna Vas***ne mendapatkan bentuk kulit yang kencang dan putih.
  • Aturan : Orang dengan bentuk kulit kencang dan putih akan dipuji oleh orang lain.
  • Kasus : Dengan menggunakan Vas***ne, pengguna produk akan tetap memiliki bentuk kulit yang kencang-putih dan dipuji oleh orang lain. (kesimpulan transformatif).
Abduksi melakukan penalaran dari sebuah fakta ke aksi atau kondisi yang mengakibatkan fakta tersebut terjadi. Metode ini digunakan untuk menjelaskan kejadian yang diamati. Sebagai contoh, kita mengetahui bahwa seseorang yang bernama Aloy selalu mengendarai mobilnya dengan sangat cepat jika sedang mabuk. Maka pada saat kita melihat Aloy mengendarai mobilnya dengan sangat cepat maka kita berkesimpulan bahwa Aloy sedang mabuk. Tentunya hal ini belum tentu benar, mungkin saja dia sedang terburu-buru atau dalam keadaan gawat darurat.
D.    NILAI TEORITIS ABDUKSI
Pertama harus dikatakan bahwa abduksi menghasilkan suatu proposisi yang mengandung konsep universal (generalitas). Sudah dikatakan sebelumnya bahwa abduksi adalah suatu proses penyimpulan dari suatu kasus tertentu. Kesimpulan dari proses itu adalah suatu proposisi yang menempatkan suatu kasus khusus tertentu dalam suatu kelas atau kelompok. Maka dengan cara ini, suatu hipotesis mempertegas bahwa suatu kasus individual ditempatkan dalam suatu kelas yang lebih umum.
Kedua, abduksi merupakan suatu proses yang tidak dapat dipatok dengan satu jenis penalaran formal (reason) saja. Hipotesis abduktif dibentuk oleh imajinasi, bukan oleh penalaran kritis. Lebih lagi, seorang ilmuwan akan menggunakan instingnya untuk membuat suatu pilihan yang ekonomis dan berguna ketika menghadapi banyak penjelasan yang harus diuji. Hipotesis abduktif, karena itu, tidak muncul dari suatu proses logis yang ketat, tetapi dari suatu kilatan insight, pengertian, atau ide, di bawah imajinasi, dan di luar kemampuan penalaran kritis.
Ketiga, proses abduksi menegaskan bahwa ilmu pengetahuan selalu berusaha untuk menangkap orisinalitas realitas. Karena hipotesis abduktif merupakan hasil dari kilatan ide imajinasi ilmiah, hipotesis itu bagi ilmuwan dan bagi banyak orang merupakan sesuatu yang baru. Peirce sangat yakin bahwa abduksi merupakan satu-satunya bentuk penalaran yang bisa menghasilkan ide bagi ilmu pengetahuan. Abduksi berhenti dengan menawarkan suatu hipotesis yang harus diuji, bukan sesuatu yang sudah diketahui kebenarannya.
Keempat, abduksi yang berhasil mengandaikan keterlibatan yang menyeluruh dan imajinasi yang bebas. Oleh karena itu, ilmuwan yang berpengalaman biasanya lebih berhasil dari yang tidak berpengalaman. Ini berarti bahwa abduksi merupakan suatu fase interpretasi. Interpretasi dalam arti bahwa proposisi hipotesis yang berhasil dirumuskan itu tidak lain dari cara pandang ilmuwan terhadap fakta atau pengalaman.

Referensi:
Keraf, A. Sonny dan Mikhael Dua.2001. Ilmu Pengetahuan:Sebuah Tinjauan  Filosofis. Kanisius:Yogyakarta.
Kapitan, Tomis. Abduction as Practical Inference,http://www.digitalpeirce.fee.unicamp.br/abdkap.htm diakses tanggal 25 September 2012 pada pukul 11.10 WIB.
--.Abduksi:Sebuah Bentuk Penalaran Berdasarkan Silogisme, http://www.kamus-filsafat.blogspot.com diakses tanggal 30 September 2012 pada pukul 10.42 WIB.


Senin, 04 November 2013

Genggaman Kelima Jemari Lentik


Aku selalu mengagumi dirimu,
Seorang yang mengenali gelagat identitas
Guna memberontak terhadap absurditas
Dirimu,
Tak kenal lelah dan pantang menyerah
Tatkala menyusuri horizon alam raya

Aku ingin berada di sampingmu
Menggenggam kelima jemari lentik itu

Bersama...
Kita menyusuri semesta

Kita menembus horizon dunia
Kita menerobos batas-batas konvensional belaka

Aku ingin sekali memeluk dirimu di puncak Mahameru
Membiarkan langit biru dan butiran pasir kelabu menjadi saksi....
Merasakan kehangatan kosmik alam raya di dalam dirimu

Sampai kita pun harus mengakhiri perjalanan hidup ini, nanti...

Engkau masih ada di sana, aku melihat mu
Menatap ku ringan dan berucap:
"Ayoo..Sebentar lagi puncak"

Ini adalah Awal dimana Segalanya Akan Dimulai

Pagi hari dalam kelas filsafat
4 November 2013

Sabtu, 02 November 2013

Arthur Schopenhauer (1788-1868) Komentar terhadap ajaran mengenai Dunia sebagai kehendak dan sebagai ide

Pangkal pemikiran Schopenhauer adalah filsafat Kant yang mengajarkan manusia hanya dapat mengetahui apa yang nampak saja (fenomena). Di sini hendak dikatakan bahwa jasa Kant yakni Kant membedakan antara apa yang nampak (fenomena) dengan benda di dalam dirinya sendiri (Ding An Sich). Bagi Schopenhauer, benda-benda di dalam dirinya sendiri  sungguh-sungguh ada dan berupa ide serta dapat dikenal melalui hati manusia.
Bagi Schopenhauer, hati memiliki tekanan dan peran yang khusus dalam mengenali dunia noumena. Dalam duni mistik, hati telah lama menjadi pintu masuk bagi pengenalan akan dunia noumena. Dengan demikian, Schopenhauer mengajukan sumbangan pemikiran filosofisnya yakni pengenalan dunia noumena melalui hati.
Menurut Schopenhauer, manusia mempunyai 2 jenis pengetahuan tentang badannya. Badan merupakan objek sekaligus entitas yang memiliki kehendak tersendiri, sesuatu yang memiliki otonominya sendiri. Badan itu kehendak yang telah menjadi objektif dalam ruang dan waktu dan berlaku untuk manusia, untuk seluruh dunia, dan sejarah.
Untuk manusia, kehendak terdapat pada daya-daya organ manusia dalam bekerja. Berbagai sistem kerja dalam tubuh seperti sistem pernafasan, pembuangan, pencernaan, dsb merupakan perwujudan nyata dari kehendak badan. Badan mempunyai otonominya sendiri terlepas dari akal atau rasio yang mengaturnya. Pemikiran ini sangat baik untuk menyadarkan manusia pada titik kesadaran akan adanya entitas yang manusia sendiri tidak pernah tahu bagaimana organ-organ itu bekerja, apa yang mendorongnya, menggerakkannya, dsb? Pad titik ini, manusia akhirnya disadarkan akan adanya entitas yang melampaui kesadaran manusia dan entitas itu memiliki daya-daya di luar kontrol rasio manusia.
Untuk dunia, kehendak terwujud secara nyata dalam perangi alam semesta. Bumi yang beredar mengelilingi matahari, susunana tata surya, gaya gravitasi, dsb merupakan perwujudan dari kehendak dunia. Manusia tidak mampu mengaturnya, namun alam semesta sendirilah yang memiliki kehendaknya untuk berbuat demikian. Dengan demikian hendak dikatakan di sini yakni seluruh perangi alam tidak cukup hanya dijelaskan oleh rasio semata, rasio manusia hanya mampu mengenali yang nampak saja (fenomena) sementara untuk hal kehendak, manusia tidak mampu mengetahui tetapi hanya dapat memahami dan merasakan.
Dalam sejarah, kehendak terwujud dalam penampakan adanya perbedaan bangsa-bangsa, zaman-zaman, dan adat istiadat. Sejarah sendiri merupakan peredaran. Oleh karenanya dalam semua zaman diumumkan hikmat yang sama oleh orang-orang alim, dan dilaksanakan kebodohan yang sama yang berlawanan dengan hikmat tersebut.
Bagi Schopenhauer, kehendak sebagai keseluruhan itu bebas, namun kehendak individu-individu tidak bebas sebab mereka hanya melayani kehendak yang lebih tinggi. Sehingga nampak sekali bahwa Schopenhauer merupakan filsuf yang pesimis. Menurutnya sebab kehendak manusia itu irrasional, maka yang tercipta hanyalah ketidakteraturan. Manusia menjadi kesepia, dunia penuh perang, optimisme tidak jujur, dsb.
Namun, Schopenhauer juga menawarkan jalan keluar yang tepat, yakni jalan melalui estetika dan etika. Estetika yang dimaksud yakni melalui seni, manusia mampu keluar dari kehendaknya dan mengalami kebahagiaan namun hanya bersifat sementara. Sementara jalan etika lebih permanen, artinya manusia mampu mencapai kebahagiaan melalui askese. Askese seperti yang diajarkan di dunia timur, hendak menekankan keinginan untuk hidup harus dimatikan, supaya manusia benar-benar lepas dari kehendaknya.
Hal positif yang dapat dipetik dari pemikiran Schopenhauer yakni kehendak pada dasarnya adalah irrasional. Keadaan irrasional berarti keadaan bebas tanpa kontrol. Jika manusia hanya dihadapkan terus-menerus pada keadaan irrasional yang terjadi justru keadaan ketidakteraturan, chaos, disorder. Keadaan chaos hanya membawa manusia pada ketidak-bahagiaan. Bagaimanapun, rasio tetap diperlukan sebagai kontrol atas kehendak. Rasio memungkinkan keseimbangan (balance) terjadi. Rasio menjadi pengatur atas kehendak yang buta (blind will). Pemikiran Schopenhauer ini membuka pintu baru bagi dunia psikologi yang secara jelas digagas oleh Freud, mengenai alam bawah sadar.

Sumber Pustaka:
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta: Kanisius.

Hamersma, Harry. 1983. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: PT. Gramedia.

Rabu, 16 Oktober 2013

Mau Dibawa Kemanakah Pancasila Kita?


Perjalanan sekian tahun bangsa Indonesia memang cukup melelahkan. Tahun demi tahun pasti selalu ada tantangan, entah harus diselesaikan atau memang menjadi pekerjaan yang tak kunjung selesai. Masalah, kasus, dan problem bagaikan invasi lalat ke gunungan sampah. Itulah Indonesia, tak pernah ada titik untuk negara ini, kalaupun ada itu hanya titik koma, yang menuntut adanya rincian setelah titik.
Masalah, problem, dan kasus yang terjadi di Indonesia bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah melainkan juga kita semua yang mengaku sebagai warga bangsa Indonesia. Lantas bila kita semua yang mempunyai kewajiban akan panggilan moral untuk menyelesaikan, mengapa tidak pernah usai berbagai problem tersebut. Bagaimanapun juga, berbagai solusi akan berujung pada tanggung jawab masing-masing individu.
Setiap individu diberikan penggembelangan yang sama yakni pendidikan wajib 9 tahun. Setiap individu diberikan hak yang sama, segala hakikat individu sebagai manusia integral diberikan secara menyeluruh. Namun Menjadi perkara ialah setiap orang meminum air dari sumber yang sama hanya saja masing-masing mempunyai persepsinya sendiri-sendiri mengenai rasa air tersebut. Indonesia bahkan kita yang tinggal di dalamnya secara bersama meminum sari-sari dari Pancasila hanya saja kita tidak pernah tahu apa rasa makna yang sebenarnya kita minum.
Kita paham mengenai apa itu Pancasila bahkan sampai hafal berbagai butir yang terkandung. Namun patut disayangkan, Pancasila yang sangat kaya dan luhur serta warisan terbesar dari para founding father hanya sebatas identitas formal bangsa. Menjadi pertanyaan dalam benak kita, apakah Pancasila masih relevan dengan karakter bangsa Indonesia saat ini? Atau apakah Pancasila sudah teraplikasi dalam kehidupan konkret bangsa ini? Hanya realitas yang mampu memberikan jawaban.
Secara formal dan eksplisit, melalui Mukadimah UUD 1945 Pancasila menjadi dasar falsafah negara Indonesia. Dengan kata lain, Pancasila menjadi ideologi negara dengan harapan, Pancasila mampu memberikan arah, motivasi, landasan, dan gairah untuk membangun bangsa dan mengejar kemajuan bangsa-bangsa lain selama sekian tahun terakhir ini. Ideologi Pancasila yang dimaksud merupakan perpaduan nilai-nilai kemanusiaan modern seperti kerakyatan, dan nilai tradisional seperti orientasi kekeluargaan. Pancasila juga menujukkan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.
Pancasila yang berorientasi pada  nilai-nilai kemanusiaan dapat dibenarkan juga oleh pemikiran modern mengenai manusia yakni humanisme. Dalam konteks pemahamannya, Martin Heidegger memberikan konsep humanisme sebagai refleksi dan usaha agar manusia bertindak manusiawi dan bukan sebaliknya malah tidak manusiawi. Tentu, bila dikaitkan dengan isi Pancasila, ada dorongan bagi kita untuk hidup menurut harkat dan martabat manusiawi. Hidup berkemanusiaan menjadi orientasi bangsa ini.
Dalam pemahaman sederhana, hidup berkemanusiaan yakni tidak tunduk pada materialisme. Dalam pandangannya, materialime menempatkan manusia dalam etalase kesetaraan dengan objek-objek lainnya. Pribadi menjadi tidak bernilai dan segala-galanya bertolak dari materi (benda). Salah satu bentuk materialisme ialah teknokratisme atau scientisme. Dampak ini menujukkan betapa manusia menjadi tergila-gila oleh teknologi dan kecakapan sains dalam menjawab misteri kehidupan. Erich Fromm memberikan kritik mengenai budaya ini yakni manusia telah terasing, teralienasikan dari dirinya sendiri. Secara permukaan memang terlihat bahwa manusia itu bebas, namun keadaan yang sesungguhnya  ingin berteriak bahwa manusia telah disetir dalam kendali kehidupan teknologi. Manusia lebih dipandang dari segi fungsi, ukuran material, dan objek nonpersonal.
Selain itu, orientasi Pancasila yang bermuara pada hidup kemanusiaan juga tidak boleh tunduk pada paham spiritualisme. Memang, pemahaman ini bertolak belakang dari paham yang dikembangkan pada filsafat modern. Menurut Hegel, realitas seluruhnya adalah perwujudan Roh, yang menampakkan diri secara terus-menerus. Roh itu ialah Roh Alam Semesta dan Roh itu bersifat absolut.  Namun dalam pemahaman spiritualisme, paham tersebut telah digunakan untuk tindakan otoriter dan tidak demokratis dari para penguasa. Sebagai dalihnya ialah seluruh tindakan penguasa yang mengekang kebebasan dan membawa penderitaan harus dimengerti dan dipahami sebagai tindakan Roh, yang terkesan sedang mewujudkan diri dalam realitas. Pancasila memiliki anggapan bahwa manusia adalah makhluk rohani dan jasmani yang terintegral dengan konsekuensi setiap pribadi yang adalah persona yang rohani-jasmani tidak boleh direduksi oleh paham spiritualisme negatif ini.
Orientasi Pancasila yang menekankan sisi humanistik ialah sebagian kecil sisi Pancasila yang sebenarnya menekankan setiap aspek dalam kehidupan berbangsa. Memang, mau tidak mau, suka tidak suka akar bangsa ini harus tertanam dalam Pancasila. Pancasila menerobos batas-batas kedaerahan, suku, etnis, ras, budaya, politik, dan bahkan kondisi geografis. Mewujudkan satu visi untuk membangun dan merawat Indonesia. Para penguasa janganlah sok pusing memikirkan berbagai kasus di Indonesia, tapi pikirkanlah dahulu apakah Pancasila ini sudah terwujud dalam perilaku konkret, sederhana, dan keseharian, apakah Pancasila ini telah terpatri dalam jiwa masyarakat Indonesia atau hanya menjadi embel-embel identitas kenegaraan belaka.


Sumbangan secercah harapan untuk negri ini.
Bandung, 17 Agustus 2013
Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia

Referensi Penulisan:
Oesman, Oetojo,dkk., Pancasila Sebagai Ideologi Negara, BP-7 Pusat: Jakarta
Poespowardojo, Soerjanto, Filsafat Pancasila, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Kaelan, Drs. M.S., Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma: Yogyakarta


Sabtu, 14 September 2013

Tawa dan Canda



Aku ingin diam di ruang itu
Tak peduli kronos yang terus melaju
Aku ingin tetap bersama di dalam kehangatan
Membekukan diri ke dalam kairos kebersamaan

Aku selalu bermimpi untuk hidup seribu tahun lagi
Di dalam tawa dan canda untuk mengabadikan diri
Berputar bersama dansa keotik semesta
Meniti setiap gerak menjadi kosmik alam raya

Sabtu, 07 September 2013

Kembali




Aku ingin sekali kembali ke pantai itu
Melihat deburan ombak dan luasnya cakrawala
Aku ingin sekali menuliskan nama kita di bentangan pasir
Sekalipun aku tahu,
Ombak akan menyapu setiap goresan nama kita
Membawanya menuju hamparan samudera maha luas
Aku ingin sekali berjumpa kembali dengan mu sekali waktu
Berbagi kisah dan cerita akan birunya langit dan kerasnya deru ombak
Aku selalu merindukannmu seperti saat kita pertama berjumpa
'kan ku titipkan salam rindu ini kepada semesta
Biarlah ia yang menyampaikan salam itu.


Sabtu, 11 Mei 2013

Noda Hitam Dunia Pendidikan Indonesia (Tinjauan Solusi atas Pemikiran Filosofis Karl Jaspers)



Pengantar
Tewasnya siswa SMA Negeri 6 Mahakam, Alawy Yusianto Putra (15), akibat sabetan celurit yang diayunkan siswa SMAN 70, FR (19), akhir September lalu, menambah daftar panjang siswa yang tewas dalam satu dekade. [1]
Perkelahian antarpelajar baik jenjang SMA maupun perguruan tinggi semakin marak. Tawuran antarsekolah maupun kampus terjadi secara menyeluruh di kota-kota di Indonesia seperti Jakarta, dan Makassar. Bahkan sederet kasus tawuran terjadi dalam rentan waktu relatif singkat. Seperti kasus Jasuli (16) yang terjadi sebulan sebelum kasus Alawy terjadi. Jasuli seorang siswa kelas IX SMP 6, meninggal setelah tertabrak kereta api di Stasiun Buaran, Klender, Jakarta Timur. Saat itu, Jasuli tengah dikejar sekelompok pelajar lain. Bahkan dua hari setelah kematian Alawy, Deny Yanuar (17), siswa SMK Yayasan Karya 66, tewas terkena sabetan celurit Djarot (15) dan rekannya yang berasal dari SMK Kartika Zeni, Matraman, Jakarta Pusat.
Sekolah, kampus, dan tempat pendidikan informal yang seharusnya menjadi simbol kemajuan intelektul segera berubah menjadi simbol penyerangan. Sekolah yang satu menyerang sekolah yang lain. Pelajar yang satu menyerang pelajar yang lain. Keadaan emosional para remaja yang labil sangat nampak dalam kehidupan berkelompok. Bila ada anggota kelompok yang diserang maka kelompok menjadi punya andil untuk melakukan penyerangan. Ada hasrat untuk menjadi yang superior dan mengalahkan pelajar lainnya dalam rangka pencarian jati diri dan pengakuan publik.  Hal inilah yang menjadi sorotan bagi dunia pendidikan Indonesia saat ini.

Tawuran sebagai bentuk Sense of Identity remaja
Masa remaja identik dengan proses pencarian jati diri dan perkembangan emosi yang labil. Maka tak heran bila para remaja mengidentikan dirinya dengan tokoh pujaan mereka dengan maksud mereka menemukan jati diri dan mendapat pengakuan publik. Hal mengenai pencarian jati diri tak terlepas pula dari tawuran. Tawuran dianggap sebagai ajang pembuktian dan pencapaian afirmasi publik.
Kasus tawuran tidak serta merta terjadi langsung di lapangan tetapi merupakan proses panjang bentuk kekerasan yang dilegalkan di sekolah. Sekolah bukan bermaksud menyetujui adanya tindak kekerasan dalam proses pendidikan namun dalam aktifitas pendidikan, terselebung berbagai tindak kekerasan. Seperti dalam kasus Masa Orientasi Sekolah (MOS), seringkali dipakai sebagai wadah pembalasan dendam senior kepada juniornya dan ketika junior tersebut telah menjadi senior maka akan menindas kembali juniornya dan seterusnya demikian.
Pengamat sosial budaya Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, berpendapat bahwa salah satu penyebab tawuran adalah adanya identitas dan tradisi turun temurun.[2] Identitas ini (tawuran) terwariskan dari generasi ke generasi berikutnya (sense of Identity) secara alamiah. Hal ini dapat terlihat pada semua siswa yang mengenal bagaimana cara menggunakan ikat pinggang untuk menyerang lawannya padahal tidak ada yang mengajarkan.
Pencarian jati diri pada remaja seringkali berujung pada kekeliruan terlebih dalam hal kekerasan. Para remaja dengan mudah merasa empati bila rekannya dicederai dan ada hasrat untuk membalas. Para remaja yang mengalami tindak kekerasan entah dari lingkungan sekolah, masyarakat, maupun keluarga, akan dengan mudah meniru tindakan kekerasan tersebut dan menerapkannya pada pihak yang lebih lemah. Inilah yang disebut bullying. Bully merupakan konsekuensi logis dari ketidakseimbangan sosial. Di setiap lingkungan sekolah selalu ada siswa yang kuat, jagoan, lemah dsb. Bila kekuatan dan kelemahan ini tidak diatur maka akan muncul penindas, yang ditindas, dan penonton. [3]
Ketiga kelas di atas, penindas, yang ditindas, dan penonton  menjadi akar kekerasan di setiap lingkungan. Pengakuan publik dan pencarian jati diri menjadi jelas setelah kelas penindas mendapat persetujuan sosial dari kelas penonton. Dengan demikian, proses pencarian diri sejati pada remaja diselubungi oleh kekerasan.

Tinjauan Tokoh: Riwayat Hidup Karl Jaspers
”Ia lahir di Oldenburg, jerman Utara pada 23 Februari 1883. Awalnya ia belajar dan kuliah di Universitas Heilderberg dan mengambil hukum, tetapi kemudian ia pindah ke daerah Munchen dengan mengambil jurusan kedokteran dengan menmgambil spesialisasinya adalah psikiatri. Studi Jaspers mengenai psikiatri Allegemeine Psychopathologie, menjadi buku pegangan klasik yang tetap dipakai. Pada awalnya ia bekerja sebagai psikiater di universitas Heidelberg, tetapi akhirnya juga ia menjadi seorang dosen untuk psikologi, dan akhirnya juga pada tahun 1922 ia diangkat sebagai guru besar untuk filsafat sampai akhirnya ia diusir oleh Nazi karena dituduh menyerang mereka.”[4]
Setelah Perang Dunia kedua, Jaspers mengalami jaman keemasannya. Ia pindah ke Basel di Swiss dan menjadi warga negara Swiss. Pada akhir hidupnya Jaspers mengarang mengenai masalah-masalah perang dan damai, masalah politik, tentang suatu “iman filosofis” yang harus merupakan lapangan diskusi dalam usaha untuk mengatasi perbedaan-perbedaan antara agama-agama. Juga usahanya untuk mengarang suatu sejarah filsafat seluruh dunia yang dimaksudkan sebagai sumbangan untuk mempermudah komunikasi antara kebudayaan-kebudayaan yang berbeda, dan pada akhirnya ia meninggal di Basel pada 1969.

Konsep Pemikiran Karl Jaspers
Secara umum, Karl Jaspers membagi filsafatnya atas filsafat yang berorientasi dunia (Weltorientierung), filsafat yang menjelaskan eksistensi (Existenzerhellung) dan filsafat yang transenden (Transzendenz), dimana ketiganya ini dipandang sebagai cakrawala. Namun, pembahasan makalah ini hanya difokuskan pada pemikiran Karl Jaspers mengenai filsafat yang menjelaskan eksistensi.
Bagi Jaspers, eksistensi mempunyai pemahamannya sendiri. Namun sebelum memahami pengertian eksistensi, perlu dipahami terlebih dahulu apa oleh Jaspers disebut situasi. Situasi bukannlah apa yang umum disebut sebagai situasi atau keadaan, tempat manusia berada. Manusia bergerak dalam kawasan hal-hal yang obyektif setiap hari. Dari hal tersebut, manusia berusaha untuk mencari penjelasan dan mendapatkan realitas yang sebenarnya demi mendapat kepastian. Namun usaha tersebut tidak memberi hasil. Dalam kenyataan, manusia selalu dihadapkan dengan hal-hal yang tanpa batas, tanpa sesuatu yang mendasari, sehingga manusia selalu dikacaukan. Manusia mulai menyadari yang sebenarnya yakni tidak memiliki alas berpijak, tanpa harapan. Situasi inilah yang sebenarnya secara eksistensial manusia dapat menemukan dirinya sendiri.
Pengalaman situasi ini merupakan suatu pengalaman reflektif, suatu pengalaman yang terus dipikirkan berulang-ulang. Dalam permenungan tersebut, manusia membuat jarak antara dirinya dengan segala hal yang objektif, dengan dunia. Inilah yang disebut sebagai hal yang eksistensial itu, ada jarak dari dunia yang objektif, yang tanpa batas, tanpa harapan, dan yang tidak dapat diraih ini, serta kembali kepada diri manusia itu sendiri, kepada situasi manusia itu. Jadi situasi adalah kenyataan bagi suatu subjek yang sebagai Dasein dimasukkan ke dalamnya. Bagi subyek, situasi berarti pembatasan atau ruang gerak. Setiap orang dapat mengubah dan menghindari situasi ini. Namun ada juga situasi yang mutlak, yang tidak dapat dihindari, yaitu situasi perbatasan (Grenz-situastion), yang menjadi kawasan yang tidak dapat ditembus, tidak dapat diketahui, dan hanya dapat dirasakan oleh eksistensi yaitu jikalau manusia berada di dalam situasi tertentu seperti kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan.[5] Manusia dapat tumbuh menjadi dirinya sendiri oleh karena keberanian untuk memasuki situasi perbatasan ini. Hanya situasi perbatasanlah yang mewujudkan keseluruhan eksistensi menjadi kenyataan.
Eksistensi bukanlah objek. Bagi Jaspers, eksistensi hanya dapat diterangi dengan menggunakan kategori-kategori sendiri seperti kebebasan, komunikasi, dan sejarah. Eksistensi diungkapkan sebagai perbuatan, sebagai pemilihan, sebagai kebebasan. Perbuatan yang terwujud dari diri manusia sendiri tanpa syarat menunjukkan bahwa sebenarnya manusia itu bebas. Di dalam pemilihan yang benar-benar bebas ini manusia menemukan siapa dirinya, manusia baru mengenal siapa dirinya.
Menurut Jaspers, eksistensi tidak dapat diwujudkan secara terpisah, tanpa ikatan eksistensial dengan eksistensi yang lain. Ikatan inilah yang disebut komunikasi, komunikasi eksistensial lebih tepatnya. Komunikasi eksistensial berbeda dengan komunikasi dalam pengertian umum. Komunikasi eksitensial lebih mendalam dan di dalamnya manusia membuka diri bagi sesamanya dan ada kepercayaan yang mendorong manusia untuk menyerahkan diri kepada sesamanya. Sumber komunikasi ini adalah cinta kasih. Manusia tidak dapat sampai kepada dirinya, jikalau tidak bersama-sama dengan orang lain.

Relevansi dan Solusi
Tawuran yang terjadi antarpelajar SMA maupun perguruan tinggi dapat dikaitkan dengan konsep eksistensi Karl Jaspers. Pendekatan yang utama dapat melalui dua hal yakni pengolahan situasi diri dan pengembangan komunikasi eksistensial.
Situasi memungkinkan manusia untuk sampai pada pengenalan diri yang sesungguhnya. Seperti yang dikatakan oleh Jaspers, situasi memungkinkan manusia mengenali dirinya sebab dalam situasi eksistensial manusia terus merenungi dirinya dan mengambil jarak dengan objek, dunia, dan segala yang berada di luar diri.
Dalam kaitan dengan tawuran antarpelajar, hal yang perlu mendapat tekanan yakni persoalan kurikulum pendidikan. Perlu diadakan kurikulum yang tidak hanya menekankan sisi intelektual tetapi juga sisi afektif. Pengakuan dari Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim, kasus tawuran sekarang menjadi momentum menata kembali kurikulum satuan pendidikan yang kini tengah dilakukan pemerintah. Penataan dilakukan dengan menyeimbangkan mata pelajaran pengetahuan, kemampuan, dan karakter atau sikap. Musliar mengakui, kurikulum yang berbasis kompentensi ini menyebabkan mata pelajaran kepada anak didik dinilai sangat berlebihan. Akibatnya, siswa didik terbebani.
Kurikulum yang menekankan afektif dapat membantu siswa untuk mengenali situasi yang dimaksud oleh Jaspers. Sebab dalam kurikulum berbasis afektif, yang menjadi tujuan yakni proses penyeimbangan antara ilmu yang didapat dengan akhlak yang harus diwujudkan. Siswa selalu dihadapkan pada ilmu-ilmu yang memiliki ideal tertentu sementara dalam keseharian ilmu-ilmu tersebut selalu dikonfrontasikan dengan realitas. Kesenjangan antara ilmu sebagai suatu yang ideal dengan realitas di lapangan membuat siswa enggan untuk menerapkan ilmu dalam kenyataan keseharian. Padahal bagi Jaspers, manusia terus-menerus dihadapkan pada realitas tanpa batas, tanpa pijakan, dan juga pada sesuatu yang ideal. Namun manusia tidak serta merta lari dari situasi begitu saja tetapi terus menerus mengambil jarak dan merefleksikannya. Pada siswa, ilmu-ilmu tersebut hendaknya selalu berdistansi dengan siswa dengan tujuan siswa mampu merenungi dan mengasah sisi afeksi.
Kaitan dengan komunikasi eksistensial yakni penekanan pada sumber komunikasi itu sendiri yang adalah cinta kasih. Dengan cinta kasih maka sangat dimungkinkan setiap anak didik menyadari keberadaanya dan tujuannya dalam proses pendidikan. Menjadi autentik bagi anak didik tidak lain adalah usaha penyelasaran antara aktifitas dan identitas. Dengan cinta kasih, anak didik bersama sesamanya berproses untuk mengenali diri sendiri dan pemahaman akan diri sendiri akan berujung pada aktifitas yang sesuai, yang seharusnya dilakukan.

Daftar Pustaka
Hadiwijono, Harun.1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
Hamersma, Harry.1990. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.
Van Der Weij, P. A. 1972. Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia. Jakarta: Gramedia.

Surat Kabar
Harian KOMPAS. 2012. “Sekolah Ramah Anak Atasi Tawuran”. Jakarta: KOMPAS.



[1] Suhartono.2012. “Sekolah Ramah Anak Atasi Tawuran”. Dalam KOMPAS, 19 Oktober 2012. Jakarta
[2] Ibid.
[3] LSM Peace Generation, Irfan Amalee, menyebut tiga kelas dalam tindak kekerasan yakni penindas, yang ditindas, dan penonton. Ketiga kelas ini menjadi unsur utama bullying dan menjadi bibit kekerasan.
[4] Bdk. Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat barat modern, Jakarta: Gramedia, 1990,Hlm. 118
[5] Bdk. Harun Hadiwijono, sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hlm. 170