Verus Amicus Laetus Et Tristis Est

Sahabat sejati selalu ada bersama sahabatnya di kala senang maupun sedih (Latin).

Saat Kita Membuka Mata...

Matahari itu berusaha menyelusup masuk merambah dedaunan hutan.

Tetap Bersiul di Kala Sepi...

Hirup pikuk dunia ini semakin menjauhkan manusia dari keheningan dan membuat segalanya kering.

Sore Kotak-Kotak...

Entitas itu kotak, selalu ada pengkotakan dan selalu ada perbedaan.

Serumit Orang Kita Berpikir...

Terlalu banyak yang dipikirkan, terlalu banyak yang tak terselesaikan.

Melambai dalam Keburaman

Kita masih punya harapan akan masa depan walaupun segalanya tampak buram.

DIA

I want to write your name on that coast :D

Easy Going

Rabu, 16 Oktober 2013

Mau Dibawa Kemanakah Pancasila Kita?


Perjalanan sekian tahun bangsa Indonesia memang cukup melelahkan. Tahun demi tahun pasti selalu ada tantangan, entah harus diselesaikan atau memang menjadi pekerjaan yang tak kunjung selesai. Masalah, kasus, dan problem bagaikan invasi lalat ke gunungan sampah. Itulah Indonesia, tak pernah ada titik untuk negara ini, kalaupun ada itu hanya titik koma, yang menuntut adanya rincian setelah titik.
Masalah, problem, dan kasus yang terjadi di Indonesia bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah melainkan juga kita semua yang mengaku sebagai warga bangsa Indonesia. Lantas bila kita semua yang mempunyai kewajiban akan panggilan moral untuk menyelesaikan, mengapa tidak pernah usai berbagai problem tersebut. Bagaimanapun juga, berbagai solusi akan berujung pada tanggung jawab masing-masing individu.
Setiap individu diberikan penggembelangan yang sama yakni pendidikan wajib 9 tahun. Setiap individu diberikan hak yang sama, segala hakikat individu sebagai manusia integral diberikan secara menyeluruh. Namun Menjadi perkara ialah setiap orang meminum air dari sumber yang sama hanya saja masing-masing mempunyai persepsinya sendiri-sendiri mengenai rasa air tersebut. Indonesia bahkan kita yang tinggal di dalamnya secara bersama meminum sari-sari dari Pancasila hanya saja kita tidak pernah tahu apa rasa makna yang sebenarnya kita minum.
Kita paham mengenai apa itu Pancasila bahkan sampai hafal berbagai butir yang terkandung. Namun patut disayangkan, Pancasila yang sangat kaya dan luhur serta warisan terbesar dari para founding father hanya sebatas identitas formal bangsa. Menjadi pertanyaan dalam benak kita, apakah Pancasila masih relevan dengan karakter bangsa Indonesia saat ini? Atau apakah Pancasila sudah teraplikasi dalam kehidupan konkret bangsa ini? Hanya realitas yang mampu memberikan jawaban.
Secara formal dan eksplisit, melalui Mukadimah UUD 1945 Pancasila menjadi dasar falsafah negara Indonesia. Dengan kata lain, Pancasila menjadi ideologi negara dengan harapan, Pancasila mampu memberikan arah, motivasi, landasan, dan gairah untuk membangun bangsa dan mengejar kemajuan bangsa-bangsa lain selama sekian tahun terakhir ini. Ideologi Pancasila yang dimaksud merupakan perpaduan nilai-nilai kemanusiaan modern seperti kerakyatan, dan nilai tradisional seperti orientasi kekeluargaan. Pancasila juga menujukkan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.
Pancasila yang berorientasi pada  nilai-nilai kemanusiaan dapat dibenarkan juga oleh pemikiran modern mengenai manusia yakni humanisme. Dalam konteks pemahamannya, Martin Heidegger memberikan konsep humanisme sebagai refleksi dan usaha agar manusia bertindak manusiawi dan bukan sebaliknya malah tidak manusiawi. Tentu, bila dikaitkan dengan isi Pancasila, ada dorongan bagi kita untuk hidup menurut harkat dan martabat manusiawi. Hidup berkemanusiaan menjadi orientasi bangsa ini.
Dalam pemahaman sederhana, hidup berkemanusiaan yakni tidak tunduk pada materialisme. Dalam pandangannya, materialime menempatkan manusia dalam etalase kesetaraan dengan objek-objek lainnya. Pribadi menjadi tidak bernilai dan segala-galanya bertolak dari materi (benda). Salah satu bentuk materialisme ialah teknokratisme atau scientisme. Dampak ini menujukkan betapa manusia menjadi tergila-gila oleh teknologi dan kecakapan sains dalam menjawab misteri kehidupan. Erich Fromm memberikan kritik mengenai budaya ini yakni manusia telah terasing, teralienasikan dari dirinya sendiri. Secara permukaan memang terlihat bahwa manusia itu bebas, namun keadaan yang sesungguhnya  ingin berteriak bahwa manusia telah disetir dalam kendali kehidupan teknologi. Manusia lebih dipandang dari segi fungsi, ukuran material, dan objek nonpersonal.
Selain itu, orientasi Pancasila yang bermuara pada hidup kemanusiaan juga tidak boleh tunduk pada paham spiritualisme. Memang, pemahaman ini bertolak belakang dari paham yang dikembangkan pada filsafat modern. Menurut Hegel, realitas seluruhnya adalah perwujudan Roh, yang menampakkan diri secara terus-menerus. Roh itu ialah Roh Alam Semesta dan Roh itu bersifat absolut.  Namun dalam pemahaman spiritualisme, paham tersebut telah digunakan untuk tindakan otoriter dan tidak demokratis dari para penguasa. Sebagai dalihnya ialah seluruh tindakan penguasa yang mengekang kebebasan dan membawa penderitaan harus dimengerti dan dipahami sebagai tindakan Roh, yang terkesan sedang mewujudkan diri dalam realitas. Pancasila memiliki anggapan bahwa manusia adalah makhluk rohani dan jasmani yang terintegral dengan konsekuensi setiap pribadi yang adalah persona yang rohani-jasmani tidak boleh direduksi oleh paham spiritualisme negatif ini.
Orientasi Pancasila yang menekankan sisi humanistik ialah sebagian kecil sisi Pancasila yang sebenarnya menekankan setiap aspek dalam kehidupan berbangsa. Memang, mau tidak mau, suka tidak suka akar bangsa ini harus tertanam dalam Pancasila. Pancasila menerobos batas-batas kedaerahan, suku, etnis, ras, budaya, politik, dan bahkan kondisi geografis. Mewujudkan satu visi untuk membangun dan merawat Indonesia. Para penguasa janganlah sok pusing memikirkan berbagai kasus di Indonesia, tapi pikirkanlah dahulu apakah Pancasila ini sudah terwujud dalam perilaku konkret, sederhana, dan keseharian, apakah Pancasila ini telah terpatri dalam jiwa masyarakat Indonesia atau hanya menjadi embel-embel identitas kenegaraan belaka.


Sumbangan secercah harapan untuk negri ini.
Bandung, 17 Agustus 2013
Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia

Referensi Penulisan:
Oesman, Oetojo,dkk., Pancasila Sebagai Ideologi Negara, BP-7 Pusat: Jakarta
Poespowardojo, Soerjanto, Filsafat Pancasila, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Kaelan, Drs. M.S., Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma: Yogyakarta