Easy Going

Kamis, 27 Februari 2014

METODE ABDUKSI MENURUT CHARLES SANDERS PEIRCE

Charles Sanders Peirce

A.    PEMAHAMAN MENGENAI ABDUKSI : CHARLES SANDERS PEIRCE
Pemahaman abduksi menurut pierce pada awal mulanya dijelaskan sebagai bentuk penyimpulan yang terdiri dari tiga proposisi, yaitu: proposisi tentang suatu hukum (rule), proposisi tentang suatu kasus (case), dan yang terakhir adalah prosposisi tentang kesimpulan (result). Maka silogisme hipotesis yang terdiri dari premis mayor, premis minor dan kesimpulan adalah bentuk penyimpulan dari tiga proposisi tersebut, hukum, kasus, dan kesimpulan itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan abduksi ialah upaya rasional untuk mencari penjelasan untuk setiap fenomena-fenomena yang membingungkan (Puzzling), yang adalah proses yang meliputi penghasilan hipotesis-hipotesis penjelasan dan penyeleksian hipotesis-hipotesis tertentu untuk pemeriksan lebih jauh. Pemikiran ini muncul dan matang sekitar tahun 1893 dalam karya-karya yang dibuat oleh Sanders Pierce.
Setelah tahun 1893 itu, Pierce kembali menyadari bahwa metode yang diinspirasikan itu menjadi metode pemikiran yang ternyata lebih dari suatu bentuk logis. Maksudnya adalah, abduksi dilihat sebagai tahap awal untuk melakukan penelitian ilmiah, yang di dalamnya diawali dari sikap keheranan dan rasa ingin tahu yang besar terhadap peristiwa atau fakta dari semua peneliti itu. Pengalaman ini memunculkan sikap keheranan dan rasa ingn tahu yang besaar. Kemudian berusaha untuk mencari penjelasan mengenai apa yang diteliti dan juga mencoba untuk merumuskan hipotesis berkaitan dengan hasil penelitian tersebut. Boleh disimpulkan bahwa metode pemikiran abduksi ini merupakan bentuk pemikiran yang didasarkan pada fakta dan juga kasus yang terjadi. Peristiwa serta fakta tersebut menjadi titik tolak bagi pemikiran dengan metode abduksi ini, yang kemudian berdarkan fakta tersebut peneliti dapat mencoba merumuskan hipotesisinya dengan maksud untuk menjelaskan fakta tersebut. Sehingga hipotesisi yang dibuat itu sifatnya universal dan juga general. Suatu saat akan terjadi bahwa hipotesis yang sudah dibuat pada awalnya ditentang oleh fakta karena mengandung ketidaksesuaian, maka harus ada hipotesis lain yang harus diajukan kembali. Konseskuensinya adalah banyak hipotesis yang dikemukakan dan ditawarkan untuk menjelaskan suatu fakta yang terjadi.
Abduksi menurut Charles Sanders Pierce, dapat pula dipahami sebagai bentuk pemikiran yang berfungsi untuk menawarkan suatu hipotesis yang tentunya mampu memberikan penjelasan terhadap seluruh peristiwa secara akurat dan mendekati kebenaran. Silogisme abduksi ini biasanya diwali oleh sebuah fakta atau peristiwa, kemudian disimpulkan dalam bentuk hipotesis unyuk menjelasakan peristiwa tersebut. Dalam hal ini charles memberikan 2 macam ciri dari metode abduksi ini. Ciri yang pertama, abduksi menawarkan suatu hipotesis yang memberikan penjelasan atau eksplanasi yang probable. Probable disini maksudnya adalah untuk menjelaskan dan menegaskan bahwa hipotesis itu merumakan satu kemungkinan penjelasan. Sifat dari hipotesis itu adalah sebagai konjektur, atau sering disebut sebagai dugaan. Ilmuwan yang menjelaskan suatu pengetahuan harus benar-benar tahu bahwa, jika pengetahuannya benar, maka fakta yang diobservasi akan dapat dijelaskan secara benar pula. Kebenaran yang terkandung di dalam hipotesis itu harus diuji melalui proses verifikasi. Ciri yang kedua, abduksi pun dapat memberikan eksplanasi atau penjelasan bagi fakta yang mungkin belum dijelaskan atau bahkan tidak dapat dijelaskan dan tidak dapat diobservasi secara langsung. Berdasarkan ciri yang kedua ini, sedikit ada pertentangan dari seorang tokoh Auguste Comte dengan positivisme-nya yang beranggapan bahwa semua hipotesis seharusnya dapat secara langsung menjelaskan fakta. Tapi bagi Pierce, jika hipotesis itu mampu menjelaskan fakta yang bisa diamati, sekaligus juga fakta-fakta yang tidak bisa diamati, itu sudah cukup untuk dianggap sebagai teori.

B.     HUBUNGANNYA DENGAN ILMU PENGETAHUAN
Ilmu pengetahuan sebagai kegiatan akal dan budi manusia yang tentu di dalamnya juga terpengaruh oleh segala peristiwa serta pengalaman hendaknya mampu untuk membuat penjelasan-penjelasan yang dalam bentuk gagasan baru tentang suatu kasus tertentu. Ilmu pengetahuan yang selama ini terbentuk tidak lepas dari 2 unsur, yakni pengalaman yang masuk ke dalamnya dan juga pemikiran orisinil. Pemikiran yang orisinil ini bukan hanya sebatas pengetahuan berpikir secara logis tapi juga dibutuhkan imajinasi yang kuat. Imajinasi yang kuat akan membawa pemikiran kita semakin dekat dengan kebenaran. Pierce pun melihat betapa pentingnya imajinasi untuk membangun ilmu pengetahuan melalui hipotesis-hipotesis yang dibuatnya. Imajinasi dalam proses ini tentunya harus mendapat arahan yang jelas agar fungsinya sebagai pendukung ilmu pengetahuan pun semakin maksimal.
Namun dalam proses abduksi, hipotesis yang dihasilkan hanya berfungsi sebagai pemikiran sementara. Abduksi baru memberi dugaan-dugaan sementara dalam hipotesisnya. Maka pembuktian melalui bentuk induksi dan deduksi masih sangat dibutuhkan dalam proses abduksi ini. 

C.    PENGGUNAAN METODE ABDUKSI
Bagi C. S. Peirce, abduksi merupakan salah satu dari tiga bentuk pokok inferensi, bersama induksi dan deduksi. Abduksi adalah cara pembuktian yang memungkinkan tesis-hipotesis dibentuk. Pembuktian abduksi bertolak dari sebuah kasus partikular menuju sebuah eksplanasi yang mungkin tentang kasus itu. Sebagaimana dalam Aristoteles, demikian pula bagi Peirce abduksi merupakan bentuk inferensi yang probabel, artinya tidak memberikan kepastian mutlak. Bagi Peirce inferensi itu mempunyai bentuk sebagai berikut: Fakta (F) yang menimbulkan tanda tanya diteliti atau diamati. Jika hipotesis (H) benar, F adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Oleh karena itu, H (mungkin) benar.
Pemikiran mendasar di sini adalah bahwa sebuah hal yang mungkin melukiskan dan menggambarkan konsekuensi dari sebuah produk dalam iklan. Berdasarkan pada konsekuensi itu, baik atribut dari produk yang diiklankan ataupun hubungan nilai dari pengguna produk dapat disimpulkan (abduksi) oleh penerima iklan tersebut. Sebagai contoh, di dalam iklan untuk sebuah merek pelembab kulit wanita (Vas***ne). Orang yang berkulit-kencang (tidak keriput) dan putih akan ditampilkan sedang menggunakan merek sebuah pelembab yang diiklankan. Dalam kasus ini, konsekuensi dari sebuah produk ditampilkan (bahwa Vas***ne itu membuat kulit menjadi putih). Dari iklan ini, sebagai contohnya, dapat diperoleh sebuah kesimpulan abduktif yaitu Vas***ne adalah pelembab dengan presentasi “kulit-kencang” (atributnya).
  • Hasil : Pengguna Vas***ne mendapatkan bentuk kulit yang kencang dan putih.
  • Aturan : Pelembab dengan presentasi “kulit-kencang” sangat baik untuk kulit wanita.
  • Kasus : Vas***ne adalah pelembab dengan presentasi “kulit kencang” (kesimpulan informatif)
Apabila kesimpulan abduktif ini tidak secara eksplisit ada di dalam sebuah iklan, maka berarti dibuat secara implisit. Bagaimanapun juga, berdasarkan pada konsekuensi yang digambarkan di dalam iklan itu (Vas***ne adalah sebuah pilihan tepat untuk mendapatkan dan mempertahankan kesehatan dan kulit yang kencang) dan kesimpulan abduktif lain yang dibentuk dalam penggunaan Vas***ne, pengguna produk akan mengingatnya serta tidak bisa dipungkiri bahwa secara konsekuen membanggakan produk ini pada orang lain (nilai-nilai).
  • Hasil : Pengguna Vas***ne mendapatkan bentuk kulit yang kencang dan putih.
  • Aturan : Orang dengan bentuk kulit kencang dan putih akan dipuji oleh orang lain.
  • Kasus : Dengan menggunakan Vas***ne, pengguna produk akan tetap memiliki bentuk kulit yang kencang-putih dan dipuji oleh orang lain. (kesimpulan transformatif).
Abduksi melakukan penalaran dari sebuah fakta ke aksi atau kondisi yang mengakibatkan fakta tersebut terjadi. Metode ini digunakan untuk menjelaskan kejadian yang diamati. Sebagai contoh, kita mengetahui bahwa seseorang yang bernama Aloy selalu mengendarai mobilnya dengan sangat cepat jika sedang mabuk. Maka pada saat kita melihat Aloy mengendarai mobilnya dengan sangat cepat maka kita berkesimpulan bahwa Aloy sedang mabuk. Tentunya hal ini belum tentu benar, mungkin saja dia sedang terburu-buru atau dalam keadaan gawat darurat.
D.    NILAI TEORITIS ABDUKSI
Pertama harus dikatakan bahwa abduksi menghasilkan suatu proposisi yang mengandung konsep universal (generalitas). Sudah dikatakan sebelumnya bahwa abduksi adalah suatu proses penyimpulan dari suatu kasus tertentu. Kesimpulan dari proses itu adalah suatu proposisi yang menempatkan suatu kasus khusus tertentu dalam suatu kelas atau kelompok. Maka dengan cara ini, suatu hipotesis mempertegas bahwa suatu kasus individual ditempatkan dalam suatu kelas yang lebih umum.
Kedua, abduksi merupakan suatu proses yang tidak dapat dipatok dengan satu jenis penalaran formal (reason) saja. Hipotesis abduktif dibentuk oleh imajinasi, bukan oleh penalaran kritis. Lebih lagi, seorang ilmuwan akan menggunakan instingnya untuk membuat suatu pilihan yang ekonomis dan berguna ketika menghadapi banyak penjelasan yang harus diuji. Hipotesis abduktif, karena itu, tidak muncul dari suatu proses logis yang ketat, tetapi dari suatu kilatan insight, pengertian, atau ide, di bawah imajinasi, dan di luar kemampuan penalaran kritis.
Ketiga, proses abduksi menegaskan bahwa ilmu pengetahuan selalu berusaha untuk menangkap orisinalitas realitas. Karena hipotesis abduktif merupakan hasil dari kilatan ide imajinasi ilmiah, hipotesis itu bagi ilmuwan dan bagi banyak orang merupakan sesuatu yang baru. Peirce sangat yakin bahwa abduksi merupakan satu-satunya bentuk penalaran yang bisa menghasilkan ide bagi ilmu pengetahuan. Abduksi berhenti dengan menawarkan suatu hipotesis yang harus diuji, bukan sesuatu yang sudah diketahui kebenarannya.
Keempat, abduksi yang berhasil mengandaikan keterlibatan yang menyeluruh dan imajinasi yang bebas. Oleh karena itu, ilmuwan yang berpengalaman biasanya lebih berhasil dari yang tidak berpengalaman. Ini berarti bahwa abduksi merupakan suatu fase interpretasi. Interpretasi dalam arti bahwa proposisi hipotesis yang berhasil dirumuskan itu tidak lain dari cara pandang ilmuwan terhadap fakta atau pengalaman.

Referensi:
Keraf, A. Sonny dan Mikhael Dua.2001. Ilmu Pengetahuan:Sebuah Tinjauan  Filosofis. Kanisius:Yogyakarta.
Kapitan, Tomis. Abduction as Practical Inference,http://www.digitalpeirce.fee.unicamp.br/abdkap.htm diakses tanggal 25 September 2012 pada pukul 11.10 WIB.
--.Abduksi:Sebuah Bentuk Penalaran Berdasarkan Silogisme, http://www.kamus-filsafat.blogspot.com diakses tanggal 30 September 2012 pada pukul 10.42 WIB.


0 comments:

Posting Komentar