Verus Amicus Laetus Et Tristis Est

Sahabat sejati selalu ada bersama sahabatnya di kala senang maupun sedih (Latin).

Saat Kita Membuka Mata...

Matahari itu berusaha menyelusup masuk merambah dedaunan hutan.

Tetap Bersiul di Kala Sepi...

Hirup pikuk dunia ini semakin menjauhkan manusia dari keheningan dan membuat segalanya kering.

Sore Kotak-Kotak...

Entitas itu kotak, selalu ada pengkotakan dan selalu ada perbedaan.

Serumit Orang Kita Berpikir...

Terlalu banyak yang dipikirkan, terlalu banyak yang tak terselesaikan.

Melambai dalam Keburaman

Kita masih punya harapan akan masa depan walaupun segalanya tampak buram.

DIA

I want to write your name on that coast :D

Easy Going

Senin, 04 November 2013

Genggaman Kelima Jemari Lentik


Aku selalu mengagumi dirimu,
Seorang yang mengenali gelagat identitas
Guna memberontak terhadap absurditas
Dirimu,
Tak kenal lelah dan pantang menyerah
Tatkala menyusuri horizon alam raya

Aku ingin berada di sampingmu
Menggenggam kelima jemari lentik itu

Bersama...
Kita menyusuri semesta

Kita menembus horizon dunia
Kita menerobos batas-batas konvensional belaka

Aku ingin sekali memeluk dirimu di puncak Mahameru
Membiarkan langit biru dan butiran pasir kelabu menjadi saksi....
Merasakan kehangatan kosmik alam raya di dalam dirimu

Sampai kita pun harus mengakhiri perjalanan hidup ini, nanti...

Engkau masih ada di sana, aku melihat mu
Menatap ku ringan dan berucap:
"Ayoo..Sebentar lagi puncak"

Ini adalah Awal dimana Segalanya Akan Dimulai

Pagi hari dalam kelas filsafat
4 November 2013

Sabtu, 02 November 2013

Arthur Schopenhauer (1788-1868) Komentar terhadap ajaran mengenai Dunia sebagai kehendak dan sebagai ide

Pangkal pemikiran Schopenhauer adalah filsafat Kant yang mengajarkan manusia hanya dapat mengetahui apa yang nampak saja (fenomena). Di sini hendak dikatakan bahwa jasa Kant yakni Kant membedakan antara apa yang nampak (fenomena) dengan benda di dalam dirinya sendiri (Ding An Sich). Bagi Schopenhauer, benda-benda di dalam dirinya sendiri  sungguh-sungguh ada dan berupa ide serta dapat dikenal melalui hati manusia.
Bagi Schopenhauer, hati memiliki tekanan dan peran yang khusus dalam mengenali dunia noumena. Dalam duni mistik, hati telah lama menjadi pintu masuk bagi pengenalan akan dunia noumena. Dengan demikian, Schopenhauer mengajukan sumbangan pemikiran filosofisnya yakni pengenalan dunia noumena melalui hati.
Menurut Schopenhauer, manusia mempunyai 2 jenis pengetahuan tentang badannya. Badan merupakan objek sekaligus entitas yang memiliki kehendak tersendiri, sesuatu yang memiliki otonominya sendiri. Badan itu kehendak yang telah menjadi objektif dalam ruang dan waktu dan berlaku untuk manusia, untuk seluruh dunia, dan sejarah.
Untuk manusia, kehendak terdapat pada daya-daya organ manusia dalam bekerja. Berbagai sistem kerja dalam tubuh seperti sistem pernafasan, pembuangan, pencernaan, dsb merupakan perwujudan nyata dari kehendak badan. Badan mempunyai otonominya sendiri terlepas dari akal atau rasio yang mengaturnya. Pemikiran ini sangat baik untuk menyadarkan manusia pada titik kesadaran akan adanya entitas yang manusia sendiri tidak pernah tahu bagaimana organ-organ itu bekerja, apa yang mendorongnya, menggerakkannya, dsb? Pad titik ini, manusia akhirnya disadarkan akan adanya entitas yang melampaui kesadaran manusia dan entitas itu memiliki daya-daya di luar kontrol rasio manusia.
Untuk dunia, kehendak terwujud secara nyata dalam perangi alam semesta. Bumi yang beredar mengelilingi matahari, susunana tata surya, gaya gravitasi, dsb merupakan perwujudan dari kehendak dunia. Manusia tidak mampu mengaturnya, namun alam semesta sendirilah yang memiliki kehendaknya untuk berbuat demikian. Dengan demikian hendak dikatakan di sini yakni seluruh perangi alam tidak cukup hanya dijelaskan oleh rasio semata, rasio manusia hanya mampu mengenali yang nampak saja (fenomena) sementara untuk hal kehendak, manusia tidak mampu mengetahui tetapi hanya dapat memahami dan merasakan.
Dalam sejarah, kehendak terwujud dalam penampakan adanya perbedaan bangsa-bangsa, zaman-zaman, dan adat istiadat. Sejarah sendiri merupakan peredaran. Oleh karenanya dalam semua zaman diumumkan hikmat yang sama oleh orang-orang alim, dan dilaksanakan kebodohan yang sama yang berlawanan dengan hikmat tersebut.
Bagi Schopenhauer, kehendak sebagai keseluruhan itu bebas, namun kehendak individu-individu tidak bebas sebab mereka hanya melayani kehendak yang lebih tinggi. Sehingga nampak sekali bahwa Schopenhauer merupakan filsuf yang pesimis. Menurutnya sebab kehendak manusia itu irrasional, maka yang tercipta hanyalah ketidakteraturan. Manusia menjadi kesepia, dunia penuh perang, optimisme tidak jujur, dsb.
Namun, Schopenhauer juga menawarkan jalan keluar yang tepat, yakni jalan melalui estetika dan etika. Estetika yang dimaksud yakni melalui seni, manusia mampu keluar dari kehendaknya dan mengalami kebahagiaan namun hanya bersifat sementara. Sementara jalan etika lebih permanen, artinya manusia mampu mencapai kebahagiaan melalui askese. Askese seperti yang diajarkan di dunia timur, hendak menekankan keinginan untuk hidup harus dimatikan, supaya manusia benar-benar lepas dari kehendaknya.
Hal positif yang dapat dipetik dari pemikiran Schopenhauer yakni kehendak pada dasarnya adalah irrasional. Keadaan irrasional berarti keadaan bebas tanpa kontrol. Jika manusia hanya dihadapkan terus-menerus pada keadaan irrasional yang terjadi justru keadaan ketidakteraturan, chaos, disorder. Keadaan chaos hanya membawa manusia pada ketidak-bahagiaan. Bagaimanapun, rasio tetap diperlukan sebagai kontrol atas kehendak. Rasio memungkinkan keseimbangan (balance) terjadi. Rasio menjadi pengatur atas kehendak yang buta (blind will). Pemikiran Schopenhauer ini membuka pintu baru bagi dunia psikologi yang secara jelas digagas oleh Freud, mengenai alam bawah sadar.

Sumber Pustaka:
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta: Kanisius.

Hamersma, Harry. 1983. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: PT. Gramedia.

Rabu, 16 Oktober 2013

Mau Dibawa Kemanakah Pancasila Kita?


Perjalanan sekian tahun bangsa Indonesia memang cukup melelahkan. Tahun demi tahun pasti selalu ada tantangan, entah harus diselesaikan atau memang menjadi pekerjaan yang tak kunjung selesai. Masalah, kasus, dan problem bagaikan invasi lalat ke gunungan sampah. Itulah Indonesia, tak pernah ada titik untuk negara ini, kalaupun ada itu hanya titik koma, yang menuntut adanya rincian setelah titik.
Masalah, problem, dan kasus yang terjadi di Indonesia bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah melainkan juga kita semua yang mengaku sebagai warga bangsa Indonesia. Lantas bila kita semua yang mempunyai kewajiban akan panggilan moral untuk menyelesaikan, mengapa tidak pernah usai berbagai problem tersebut. Bagaimanapun juga, berbagai solusi akan berujung pada tanggung jawab masing-masing individu.
Setiap individu diberikan penggembelangan yang sama yakni pendidikan wajib 9 tahun. Setiap individu diberikan hak yang sama, segala hakikat individu sebagai manusia integral diberikan secara menyeluruh. Namun Menjadi perkara ialah setiap orang meminum air dari sumber yang sama hanya saja masing-masing mempunyai persepsinya sendiri-sendiri mengenai rasa air tersebut. Indonesia bahkan kita yang tinggal di dalamnya secara bersama meminum sari-sari dari Pancasila hanya saja kita tidak pernah tahu apa rasa makna yang sebenarnya kita minum.
Kita paham mengenai apa itu Pancasila bahkan sampai hafal berbagai butir yang terkandung. Namun patut disayangkan, Pancasila yang sangat kaya dan luhur serta warisan terbesar dari para founding father hanya sebatas identitas formal bangsa. Menjadi pertanyaan dalam benak kita, apakah Pancasila masih relevan dengan karakter bangsa Indonesia saat ini? Atau apakah Pancasila sudah teraplikasi dalam kehidupan konkret bangsa ini? Hanya realitas yang mampu memberikan jawaban.
Secara formal dan eksplisit, melalui Mukadimah UUD 1945 Pancasila menjadi dasar falsafah negara Indonesia. Dengan kata lain, Pancasila menjadi ideologi negara dengan harapan, Pancasila mampu memberikan arah, motivasi, landasan, dan gairah untuk membangun bangsa dan mengejar kemajuan bangsa-bangsa lain selama sekian tahun terakhir ini. Ideologi Pancasila yang dimaksud merupakan perpaduan nilai-nilai kemanusiaan modern seperti kerakyatan, dan nilai tradisional seperti orientasi kekeluargaan. Pancasila juga menujukkan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.
Pancasila yang berorientasi pada  nilai-nilai kemanusiaan dapat dibenarkan juga oleh pemikiran modern mengenai manusia yakni humanisme. Dalam konteks pemahamannya, Martin Heidegger memberikan konsep humanisme sebagai refleksi dan usaha agar manusia bertindak manusiawi dan bukan sebaliknya malah tidak manusiawi. Tentu, bila dikaitkan dengan isi Pancasila, ada dorongan bagi kita untuk hidup menurut harkat dan martabat manusiawi. Hidup berkemanusiaan menjadi orientasi bangsa ini.
Dalam pemahaman sederhana, hidup berkemanusiaan yakni tidak tunduk pada materialisme. Dalam pandangannya, materialime menempatkan manusia dalam etalase kesetaraan dengan objek-objek lainnya. Pribadi menjadi tidak bernilai dan segala-galanya bertolak dari materi (benda). Salah satu bentuk materialisme ialah teknokratisme atau scientisme. Dampak ini menujukkan betapa manusia menjadi tergila-gila oleh teknologi dan kecakapan sains dalam menjawab misteri kehidupan. Erich Fromm memberikan kritik mengenai budaya ini yakni manusia telah terasing, teralienasikan dari dirinya sendiri. Secara permukaan memang terlihat bahwa manusia itu bebas, namun keadaan yang sesungguhnya  ingin berteriak bahwa manusia telah disetir dalam kendali kehidupan teknologi. Manusia lebih dipandang dari segi fungsi, ukuran material, dan objek nonpersonal.
Selain itu, orientasi Pancasila yang bermuara pada hidup kemanusiaan juga tidak boleh tunduk pada paham spiritualisme. Memang, pemahaman ini bertolak belakang dari paham yang dikembangkan pada filsafat modern. Menurut Hegel, realitas seluruhnya adalah perwujudan Roh, yang menampakkan diri secara terus-menerus. Roh itu ialah Roh Alam Semesta dan Roh itu bersifat absolut.  Namun dalam pemahaman spiritualisme, paham tersebut telah digunakan untuk tindakan otoriter dan tidak demokratis dari para penguasa. Sebagai dalihnya ialah seluruh tindakan penguasa yang mengekang kebebasan dan membawa penderitaan harus dimengerti dan dipahami sebagai tindakan Roh, yang terkesan sedang mewujudkan diri dalam realitas. Pancasila memiliki anggapan bahwa manusia adalah makhluk rohani dan jasmani yang terintegral dengan konsekuensi setiap pribadi yang adalah persona yang rohani-jasmani tidak boleh direduksi oleh paham spiritualisme negatif ini.
Orientasi Pancasila yang menekankan sisi humanistik ialah sebagian kecil sisi Pancasila yang sebenarnya menekankan setiap aspek dalam kehidupan berbangsa. Memang, mau tidak mau, suka tidak suka akar bangsa ini harus tertanam dalam Pancasila. Pancasila menerobos batas-batas kedaerahan, suku, etnis, ras, budaya, politik, dan bahkan kondisi geografis. Mewujudkan satu visi untuk membangun dan merawat Indonesia. Para penguasa janganlah sok pusing memikirkan berbagai kasus di Indonesia, tapi pikirkanlah dahulu apakah Pancasila ini sudah terwujud dalam perilaku konkret, sederhana, dan keseharian, apakah Pancasila ini telah terpatri dalam jiwa masyarakat Indonesia atau hanya menjadi embel-embel identitas kenegaraan belaka.


Sumbangan secercah harapan untuk negri ini.
Bandung, 17 Agustus 2013
Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia

Referensi Penulisan:
Oesman, Oetojo,dkk., Pancasila Sebagai Ideologi Negara, BP-7 Pusat: Jakarta
Poespowardojo, Soerjanto, Filsafat Pancasila, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Kaelan, Drs. M.S., Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma: Yogyakarta


Sabtu, 14 September 2013

Tawa dan Canda



Aku ingin diam di ruang itu
Tak peduli kronos yang terus melaju
Aku ingin tetap bersama di dalam kehangatan
Membekukan diri ke dalam kairos kebersamaan

Aku selalu bermimpi untuk hidup seribu tahun lagi
Di dalam tawa dan canda untuk mengabadikan diri
Berputar bersama dansa keotik semesta
Meniti setiap gerak menjadi kosmik alam raya

Sabtu, 07 September 2013

Kembali




Aku ingin sekali kembali ke pantai itu
Melihat deburan ombak dan luasnya cakrawala
Aku ingin sekali menuliskan nama kita di bentangan pasir
Sekalipun aku tahu,
Ombak akan menyapu setiap goresan nama kita
Membawanya menuju hamparan samudera maha luas
Aku ingin sekali berjumpa kembali dengan mu sekali waktu
Berbagi kisah dan cerita akan birunya langit dan kerasnya deru ombak
Aku selalu merindukannmu seperti saat kita pertama berjumpa
'kan ku titipkan salam rindu ini kepada semesta
Biarlah ia yang menyampaikan salam itu.


Sabtu, 11 Mei 2013

Noda Hitam Dunia Pendidikan Indonesia (Tinjauan Solusi atas Pemikiran Filosofis Karl Jaspers)



Pengantar
Tewasnya siswa SMA Negeri 6 Mahakam, Alawy Yusianto Putra (15), akibat sabetan celurit yang diayunkan siswa SMAN 70, FR (19), akhir September lalu, menambah daftar panjang siswa yang tewas dalam satu dekade. [1]
Perkelahian antarpelajar baik jenjang SMA maupun perguruan tinggi semakin marak. Tawuran antarsekolah maupun kampus terjadi secara menyeluruh di kota-kota di Indonesia seperti Jakarta, dan Makassar. Bahkan sederet kasus tawuran terjadi dalam rentan waktu relatif singkat. Seperti kasus Jasuli (16) yang terjadi sebulan sebelum kasus Alawy terjadi. Jasuli seorang siswa kelas IX SMP 6, meninggal setelah tertabrak kereta api di Stasiun Buaran, Klender, Jakarta Timur. Saat itu, Jasuli tengah dikejar sekelompok pelajar lain. Bahkan dua hari setelah kematian Alawy, Deny Yanuar (17), siswa SMK Yayasan Karya 66, tewas terkena sabetan celurit Djarot (15) dan rekannya yang berasal dari SMK Kartika Zeni, Matraman, Jakarta Pusat.
Sekolah, kampus, dan tempat pendidikan informal yang seharusnya menjadi simbol kemajuan intelektul segera berubah menjadi simbol penyerangan. Sekolah yang satu menyerang sekolah yang lain. Pelajar yang satu menyerang pelajar yang lain. Keadaan emosional para remaja yang labil sangat nampak dalam kehidupan berkelompok. Bila ada anggota kelompok yang diserang maka kelompok menjadi punya andil untuk melakukan penyerangan. Ada hasrat untuk menjadi yang superior dan mengalahkan pelajar lainnya dalam rangka pencarian jati diri dan pengakuan publik.  Hal inilah yang menjadi sorotan bagi dunia pendidikan Indonesia saat ini.

Tawuran sebagai bentuk Sense of Identity remaja
Masa remaja identik dengan proses pencarian jati diri dan perkembangan emosi yang labil. Maka tak heran bila para remaja mengidentikan dirinya dengan tokoh pujaan mereka dengan maksud mereka menemukan jati diri dan mendapat pengakuan publik. Hal mengenai pencarian jati diri tak terlepas pula dari tawuran. Tawuran dianggap sebagai ajang pembuktian dan pencapaian afirmasi publik.
Kasus tawuran tidak serta merta terjadi langsung di lapangan tetapi merupakan proses panjang bentuk kekerasan yang dilegalkan di sekolah. Sekolah bukan bermaksud menyetujui adanya tindak kekerasan dalam proses pendidikan namun dalam aktifitas pendidikan, terselebung berbagai tindak kekerasan. Seperti dalam kasus Masa Orientasi Sekolah (MOS), seringkali dipakai sebagai wadah pembalasan dendam senior kepada juniornya dan ketika junior tersebut telah menjadi senior maka akan menindas kembali juniornya dan seterusnya demikian.
Pengamat sosial budaya Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, berpendapat bahwa salah satu penyebab tawuran adalah adanya identitas dan tradisi turun temurun.[2] Identitas ini (tawuran) terwariskan dari generasi ke generasi berikutnya (sense of Identity) secara alamiah. Hal ini dapat terlihat pada semua siswa yang mengenal bagaimana cara menggunakan ikat pinggang untuk menyerang lawannya padahal tidak ada yang mengajarkan.
Pencarian jati diri pada remaja seringkali berujung pada kekeliruan terlebih dalam hal kekerasan. Para remaja dengan mudah merasa empati bila rekannya dicederai dan ada hasrat untuk membalas. Para remaja yang mengalami tindak kekerasan entah dari lingkungan sekolah, masyarakat, maupun keluarga, akan dengan mudah meniru tindakan kekerasan tersebut dan menerapkannya pada pihak yang lebih lemah. Inilah yang disebut bullying. Bully merupakan konsekuensi logis dari ketidakseimbangan sosial. Di setiap lingkungan sekolah selalu ada siswa yang kuat, jagoan, lemah dsb. Bila kekuatan dan kelemahan ini tidak diatur maka akan muncul penindas, yang ditindas, dan penonton. [3]
Ketiga kelas di atas, penindas, yang ditindas, dan penonton  menjadi akar kekerasan di setiap lingkungan. Pengakuan publik dan pencarian jati diri menjadi jelas setelah kelas penindas mendapat persetujuan sosial dari kelas penonton. Dengan demikian, proses pencarian diri sejati pada remaja diselubungi oleh kekerasan.

Tinjauan Tokoh: Riwayat Hidup Karl Jaspers
”Ia lahir di Oldenburg, jerman Utara pada 23 Februari 1883. Awalnya ia belajar dan kuliah di Universitas Heilderberg dan mengambil hukum, tetapi kemudian ia pindah ke daerah Munchen dengan mengambil jurusan kedokteran dengan menmgambil spesialisasinya adalah psikiatri. Studi Jaspers mengenai psikiatri Allegemeine Psychopathologie, menjadi buku pegangan klasik yang tetap dipakai. Pada awalnya ia bekerja sebagai psikiater di universitas Heidelberg, tetapi akhirnya juga ia menjadi seorang dosen untuk psikologi, dan akhirnya juga pada tahun 1922 ia diangkat sebagai guru besar untuk filsafat sampai akhirnya ia diusir oleh Nazi karena dituduh menyerang mereka.”[4]
Setelah Perang Dunia kedua, Jaspers mengalami jaman keemasannya. Ia pindah ke Basel di Swiss dan menjadi warga negara Swiss. Pada akhir hidupnya Jaspers mengarang mengenai masalah-masalah perang dan damai, masalah politik, tentang suatu “iman filosofis” yang harus merupakan lapangan diskusi dalam usaha untuk mengatasi perbedaan-perbedaan antara agama-agama. Juga usahanya untuk mengarang suatu sejarah filsafat seluruh dunia yang dimaksudkan sebagai sumbangan untuk mempermudah komunikasi antara kebudayaan-kebudayaan yang berbeda, dan pada akhirnya ia meninggal di Basel pada 1969.

Konsep Pemikiran Karl Jaspers
Secara umum, Karl Jaspers membagi filsafatnya atas filsafat yang berorientasi dunia (Weltorientierung), filsafat yang menjelaskan eksistensi (Existenzerhellung) dan filsafat yang transenden (Transzendenz), dimana ketiganya ini dipandang sebagai cakrawala. Namun, pembahasan makalah ini hanya difokuskan pada pemikiran Karl Jaspers mengenai filsafat yang menjelaskan eksistensi.
Bagi Jaspers, eksistensi mempunyai pemahamannya sendiri. Namun sebelum memahami pengertian eksistensi, perlu dipahami terlebih dahulu apa oleh Jaspers disebut situasi. Situasi bukannlah apa yang umum disebut sebagai situasi atau keadaan, tempat manusia berada. Manusia bergerak dalam kawasan hal-hal yang obyektif setiap hari. Dari hal tersebut, manusia berusaha untuk mencari penjelasan dan mendapatkan realitas yang sebenarnya demi mendapat kepastian. Namun usaha tersebut tidak memberi hasil. Dalam kenyataan, manusia selalu dihadapkan dengan hal-hal yang tanpa batas, tanpa sesuatu yang mendasari, sehingga manusia selalu dikacaukan. Manusia mulai menyadari yang sebenarnya yakni tidak memiliki alas berpijak, tanpa harapan. Situasi inilah yang sebenarnya secara eksistensial manusia dapat menemukan dirinya sendiri.
Pengalaman situasi ini merupakan suatu pengalaman reflektif, suatu pengalaman yang terus dipikirkan berulang-ulang. Dalam permenungan tersebut, manusia membuat jarak antara dirinya dengan segala hal yang objektif, dengan dunia. Inilah yang disebut sebagai hal yang eksistensial itu, ada jarak dari dunia yang objektif, yang tanpa batas, tanpa harapan, dan yang tidak dapat diraih ini, serta kembali kepada diri manusia itu sendiri, kepada situasi manusia itu. Jadi situasi adalah kenyataan bagi suatu subjek yang sebagai Dasein dimasukkan ke dalamnya. Bagi subyek, situasi berarti pembatasan atau ruang gerak. Setiap orang dapat mengubah dan menghindari situasi ini. Namun ada juga situasi yang mutlak, yang tidak dapat dihindari, yaitu situasi perbatasan (Grenz-situastion), yang menjadi kawasan yang tidak dapat ditembus, tidak dapat diketahui, dan hanya dapat dirasakan oleh eksistensi yaitu jikalau manusia berada di dalam situasi tertentu seperti kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan.[5] Manusia dapat tumbuh menjadi dirinya sendiri oleh karena keberanian untuk memasuki situasi perbatasan ini. Hanya situasi perbatasanlah yang mewujudkan keseluruhan eksistensi menjadi kenyataan.
Eksistensi bukanlah objek. Bagi Jaspers, eksistensi hanya dapat diterangi dengan menggunakan kategori-kategori sendiri seperti kebebasan, komunikasi, dan sejarah. Eksistensi diungkapkan sebagai perbuatan, sebagai pemilihan, sebagai kebebasan. Perbuatan yang terwujud dari diri manusia sendiri tanpa syarat menunjukkan bahwa sebenarnya manusia itu bebas. Di dalam pemilihan yang benar-benar bebas ini manusia menemukan siapa dirinya, manusia baru mengenal siapa dirinya.
Menurut Jaspers, eksistensi tidak dapat diwujudkan secara terpisah, tanpa ikatan eksistensial dengan eksistensi yang lain. Ikatan inilah yang disebut komunikasi, komunikasi eksistensial lebih tepatnya. Komunikasi eksistensial berbeda dengan komunikasi dalam pengertian umum. Komunikasi eksitensial lebih mendalam dan di dalamnya manusia membuka diri bagi sesamanya dan ada kepercayaan yang mendorong manusia untuk menyerahkan diri kepada sesamanya. Sumber komunikasi ini adalah cinta kasih. Manusia tidak dapat sampai kepada dirinya, jikalau tidak bersama-sama dengan orang lain.

Relevansi dan Solusi
Tawuran yang terjadi antarpelajar SMA maupun perguruan tinggi dapat dikaitkan dengan konsep eksistensi Karl Jaspers. Pendekatan yang utama dapat melalui dua hal yakni pengolahan situasi diri dan pengembangan komunikasi eksistensial.
Situasi memungkinkan manusia untuk sampai pada pengenalan diri yang sesungguhnya. Seperti yang dikatakan oleh Jaspers, situasi memungkinkan manusia mengenali dirinya sebab dalam situasi eksistensial manusia terus merenungi dirinya dan mengambil jarak dengan objek, dunia, dan segala yang berada di luar diri.
Dalam kaitan dengan tawuran antarpelajar, hal yang perlu mendapat tekanan yakni persoalan kurikulum pendidikan. Perlu diadakan kurikulum yang tidak hanya menekankan sisi intelektual tetapi juga sisi afektif. Pengakuan dari Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim, kasus tawuran sekarang menjadi momentum menata kembali kurikulum satuan pendidikan yang kini tengah dilakukan pemerintah. Penataan dilakukan dengan menyeimbangkan mata pelajaran pengetahuan, kemampuan, dan karakter atau sikap. Musliar mengakui, kurikulum yang berbasis kompentensi ini menyebabkan mata pelajaran kepada anak didik dinilai sangat berlebihan. Akibatnya, siswa didik terbebani.
Kurikulum yang menekankan afektif dapat membantu siswa untuk mengenali situasi yang dimaksud oleh Jaspers. Sebab dalam kurikulum berbasis afektif, yang menjadi tujuan yakni proses penyeimbangan antara ilmu yang didapat dengan akhlak yang harus diwujudkan. Siswa selalu dihadapkan pada ilmu-ilmu yang memiliki ideal tertentu sementara dalam keseharian ilmu-ilmu tersebut selalu dikonfrontasikan dengan realitas. Kesenjangan antara ilmu sebagai suatu yang ideal dengan realitas di lapangan membuat siswa enggan untuk menerapkan ilmu dalam kenyataan keseharian. Padahal bagi Jaspers, manusia terus-menerus dihadapkan pada realitas tanpa batas, tanpa pijakan, dan juga pada sesuatu yang ideal. Namun manusia tidak serta merta lari dari situasi begitu saja tetapi terus menerus mengambil jarak dan merefleksikannya. Pada siswa, ilmu-ilmu tersebut hendaknya selalu berdistansi dengan siswa dengan tujuan siswa mampu merenungi dan mengasah sisi afeksi.
Kaitan dengan komunikasi eksistensial yakni penekanan pada sumber komunikasi itu sendiri yang adalah cinta kasih. Dengan cinta kasih maka sangat dimungkinkan setiap anak didik menyadari keberadaanya dan tujuannya dalam proses pendidikan. Menjadi autentik bagi anak didik tidak lain adalah usaha penyelasaran antara aktifitas dan identitas. Dengan cinta kasih, anak didik bersama sesamanya berproses untuk mengenali diri sendiri dan pemahaman akan diri sendiri akan berujung pada aktifitas yang sesuai, yang seharusnya dilakukan.

Daftar Pustaka
Hadiwijono, Harun.1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
Hamersma, Harry.1990. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.
Van Der Weij, P. A. 1972. Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia. Jakarta: Gramedia.

Surat Kabar
Harian KOMPAS. 2012. “Sekolah Ramah Anak Atasi Tawuran”. Jakarta: KOMPAS.



[1] Suhartono.2012. “Sekolah Ramah Anak Atasi Tawuran”. Dalam KOMPAS, 19 Oktober 2012. Jakarta
[2] Ibid.
[3] LSM Peace Generation, Irfan Amalee, menyebut tiga kelas dalam tindak kekerasan yakni penindas, yang ditindas, dan penonton. Ketiga kelas ini menjadi unsur utama bullying dan menjadi bibit kekerasan.
[4] Bdk. Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat barat modern, Jakarta: Gramedia, 1990,Hlm. 118
[5] Bdk. Harun Hadiwijono, sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hlm. 170

Rabu, 01 Mei 2013

Pembabakan Sejarah Filsafat Barat


Pembabakan sejarah filsafat barat dapat diuraikan secara umum sebagai berikut:
Filsafat Barat terbagi atas:
1.      Filsafat Klasik
Periode: 6SM-3M
Tokoh: Sokrates
Tema:Alam, Kebenaran hidup, Etika, Moral, Politik

2.      Filsafat Abad Pertengahan
Periode: 3M-14M (atau ada pula yang menetapkan 1M-14M)
Tokoh: terbagi atas dua kelompok.
Patristik: Agustinus
Skolastik: Thomas Aquinas
Tema:Religiusitas, semua hal dikaitkan dengan ajaran Kristiani

3.      Filsafat Moderen
Periode: 15M-19M
Filsafat moderen terbagi atas 3 pembabakan:
·         Renaissans
Periode: 15M-17M
Tokoh: Rene Descartes
Tema:Rasio sebagai dasar kebenaran
·         Aufklarung (Enlightment-Pencerahan)
Periode: 18M
Tokoh: Emmanuel Kant
Tema: Penggabungan antara Rasio dengan Empiris
·         Romantisme
Periode: 18M paruh ke-2
Tokoh:Hegel
Tema: Kritik atas Aufklarung


4.      Filsafat Kontemporer
Periode:19M-...
Tokoh: Heidegger
Tema: Cabang dari ilmu filsafat mulai berkembang (lahirnya eksistensialisme dst.)

Penjabaran umum mengenai Pembabakan dalam Filsafat Moderen
Pembabakan dalam filsafat moderen terbagi atas tiga babak yakni Renaissans, Aufklarung, dan Romantisme. Setiap pembagian ditandai dengan tokoh, waktu, dan tema yang berbeda.

Renaissans
v  Secara etimologi, Renaissans berarti kelahiran kembali.
v  Secara substansial, Renaissans berarti: Cultural Movement-Pergerakan kultural dan Intelektual yang hendak membangkitkan kembali sumber-sumber kultural klasik yang ditulis dalam bahasa Yunani kuno.
v  Masa ini ditandai dengan:
o   Gairah membaca kembali sumber-sumber klasik yang dalam bahasa Latin dan              Yunani.
o   Perkembangan pesat dalam berbagai bidang seperti:
a. Seni, para pelopornya seperti Michaelangelo, Leonardo Da vinci.
b. Agama, para pelopor protestanisme seperti Martin Luther, John Calvin.
c. Ilmu pengetahuan, para pelopornya seperti Galileo Galilei.
d. Dalam bidang politik para pelopor sepert Niccolo Machiavelli, John Locke,  Thomas Hobbes, Vasco da Gama.
Renaisaans berawal dari Italia, lebih tepatnya Florence dari keluarga Medici. Dari Italia barulah menyebar ke seluruh daratan Eropa.
Perlu diketahui bahwa Renaissans merupakan jembatan dari Filsafat Abad Pertengahan menuju Filsafat Kontemporer.

Pokok-pokok pemikiran beberapa tokoh filsafat moderen.
1.      Niccolo Machiavelli
Machiavelli merupakan salah satu pelopor dalam bidang politik. Karyanya yang terkenal berjudul Sang Penguasa. Secara garis besar hal yang ingin ditekankan ialah hendaknya para penguasa memiliki standar ganda, satu untuk dirinya sendiri dan satu untuk rakyat. Sang penguasa dapat cerdik seperti rubah dalam mengenali perangkap dan berani seperti singa dalam mengusir penyerang. Karya lainnya pula ialah Deus Homini Deus berisi hubungan antarbangsa dan Homo Homini Lupus berisi hubungan antarmanusia.

2.      Thomas Hobbes
Gagasan politiknya menekankan secara jelas mengenai kepemilikan. Selain itu pada manusia hanyalah ada kecurigaan dan hidup bersama pasti tidak pernah bisa damai. Kecurigaan antarmanusia bisa dilihat dari contoh keseharian. Adanya pagar pada rumah menjadi tanda bahwa sang pemilik rumah pasti menaruh rasa curiga terhadap orang di sekitar. Dari pagar menuju ke pintu dan dinding. Sesama anggota rumah pun menaruh rasa curiga, dalam rumah masih terbagi dalam kamar-kamar, dan ada laci-laci pribadi. Adanya rasa curiga dan privasi yang tidak ingin diketahui orang lain.

3.      Rene Descartes 
Rene Descartes menjadi penanda dari zaman filsafat moderen. Ia pun dijuluki Bapak Filsafat Moderen. Pemikirannya didasarkan pada kekuatan rasio dan terkenal dengan istilah latin Cogito Ergo Sum, yang berarti ‘Saya berpikir maka saya ada’. Latar belakang pemikirannya secara umum dapat dijabarkan sebagai berikut:
v  Ia mulai meragukan segala yang ada maupun realita. Ia mulai meragukan aktifitas tertentu seperti mengajar. Apakah saya sungguh sedang mengajar (kehadirannya sungguh nyata untuk mengajar)? Atau saya sedang bermimpi tentang mengajar.
v  Anggapan ini datang dari pihak yang membuatnya menjadi ragu-ragu, pihak ini ia sebut Evil Genius, membuat seolah-olah menjadi ada, menjadi realita padahal sebenarnya tidak atau sebaliknya. Hal ini membuatnya menjadi meragukan segala sesuatu.
v  Pemecahannya berujung pada pernyataan bahwa ‘Dia yang ragu-ragu akan segala sesuatu itu pasti ada’. Muncullah pernyataan dia yang terkenal itu, saya berpikir maka saya ada.
Konsekuensi dari pemikiran ini yakni Metode Descartes. Contoh yang ia gambarkan adalah segitiga itu ada atau tidak? Segita selama ini adalah berbagai materi yang dibentuk segitiga. Kayu yang dibentuk segitiga. Kertas yang digambar segita. Sementara segitiga itu sendiri tidak ada dan tidak nyata. Ia memakai metode ini dalam kerangka pembuktian eksistensi Allah.
Jaminan kebenaran logis Descartes adalah Allah, rasio yang dapat dipercaya. Hal ini disebabkan:
a. Eksistensi Allah digambarkan seperti contoh pada konsep segitiga di atas.
b. Allah, jauh sebelumnya telah menanamkan ide tentang Allah pada manusia.
Rene Descartes juga memaparkan pemikirannya mengenai dualisme.
·         Manusia terdiri atas dua unsur yang utama, yaitu res extensa yang berarti kebertubuhan atau perihal fisik (body) pada manusia dan res cogitan (mind) yang berari pikiran atau berkaitan dengan berpikir.
·         Pembagian itu bersifat rasional dikotonomis, yang selanjutnya body and mind akan membentuk psyche sementar mind lebih cenderung pada pneuma.
·         Menurut Descartes, yang kekal itu adalah Roh (pneuma). Roh masuk ke dalam tubuh maka terciptalah juga jiwa (psyche).
·         Konsenkuensi dari dualisme ialah pemikiran selanjutnya akan selalu berkutat di permasalahan mind and body. Bagi kehidupan manusia, Descartes telah memberi batasan yang sangat jelas. Orang yang sakit badan/fisik disembuhkan dengan dokter/tenaga medis. Untuk sakit jiwa ialah psikiater, dan untuk sakit roh barulah disembuhkan dengan rohaniwan. Ketiga hal ini tidak dapat dipertukarkan.

Aufklarung-The Age of Reason (zaman pencerahan)
·         Definisi secara substansial ialah gerakan kultural dan intelektual yang menekankan keutamaan akal budi sebagai dasar dari kebenaran dan melepaskan segala sesuatu yang tidak terkait dengan akal budi atau rasio. Gerakan ini berlangsung selama 40 tahun di Jerman.
·         Beberapa pokok pemikiran para tokoh aufklarung adalah sebagai berikut:

1.      Immanuel Kant
Pokok pemikiran Kant adalah usahanya untuk mensintesiskan pemikiran Descartes (yang mengutamakan rasio sebagai penjamin kebenaran) dengan pemikiran David Hume (yang mengutamakan pengalaman/empirik sebagai penjamin kebenaran). Metode Kant yang terkenal ialah: Metode Sintetik Apriori.
 Beberapa poin penting mengenai metode ini ialah:
·         Unsur-unsur apriori terdapat dalam pengetahuan dan unsur-unsur empiris terdapat dalam realita.
·         Pertemuan antara rasio dengan empirik akan menghasilkan kebenaran.
·         Kebenaran ditinjau dari dua sisi, Subjek sebagai rasio dan Objek sebagai empirik atau realita.

Selain itu, Kant juga menekankan mengenai kategori. Perbedaan fenomena didasarkan pada bentuk dan waktu. Bagaimana membedakan kayu dengan bangku kayu?tentu secara materi adalah sama, namun secara bentuk itu berbeda. Kaitan antara substansi dan forma sangat ditekankan.

Romantisme
·         Latar belakang muncul aliran ini ialah penekanan yang kuat terhadap rasio sebagai dasar dari kebenaran.
·         Romantisme merupakan kritik terhadap Aufklarung.
·     Kebenaran tidak hanya didasarkan pada intektual tetapi juga mempertimbangkan unsur perasaan sebagai dasar kebenaran.
·       Para tokoh idealisme Jerman termasuk dalam masa ini, mereka diantaranya ialah Fichte, Schelling, dan Hegel. Romantisme berpuncak pada Hegel.

Pokok pemikiran tokoh Romantisme
1.      Hegel
Terkenal dengan pernyataannya yang berbunyi ‘Yang nyata itu rasional dan yang rasional itu nyata.’ Dasar dari pemikirannya bahwa segala sesuatu saling terkait, tidak ada sesuatu pun yang terpisah.
Kenyataan umum itu adalah Ide Absolut. Pandangannya terbagi atas ide mengenai Roh Absolut dan Roh Terbatas.
Roh Absolut ini mengubah dari keadaan abstrak universal menuju konkret universal. Hal ini pun berkaitan dengan Dialetik mengenai tesis dan antitesis yang menghasilkan sintesis.
Contoh tesis: Ada (being), antitesis: Tidak ada (nothing), dan sintesisnya: Menjadi (becoming). Contoh lain, tesis: seni, antitesis: agama, dan sintesis: filsafat (segalanya pun akan bermuara pada filsafat).

Perantara Menuju Filsafat Kontemporer
Tema yang diajukan ialah Allah, alam, dan manusia (materialis).
Tokoh-tokoh yang menjadi perantara tersebut diantaranya:
1.      Feuerbach
Idenya mengenai Allah cukup keras. Baginya, Allah merupakan hasil dari proyeksi manusia. Allah itu tidak ada. Ide mengenai Allah muncul ketika manusia butuh kebaikan, maka muncullah ide tentang subjek yang Maha baik itu, yaitu Allah. Secara sederhana ia hendak mengatakan bahwa Teologi itu merupakan proyeksi dari Antropologi.

2.      Karl Marx
gagasannya mengenai Allah tertuang dalam pernyataanya yakni agama ialah candu masyarkat. Orang pergi ke Gereja dan sepulangnya dari sana, perubahan akan hidup yang sejahtera pun tidak terjadi. Agama hanya menina-bobokan manusia, tidak mendorong adanya perubahaan akan kenyataan. Agama menjadikan manusia tidak sadar akan realitasnya, membawanya hanya hidup dalam angan-angan.
Kritiknya terhadap kaum kapitalis ialah manusia menjadi terasing akan hasil karyanya sendiri. Hanya para pemilik modal-lah yang bisa menikmati hasil kerja dari manusia itu.
  
3.      Nietzsche
Idenya yang cukup keras yakni kehendak untuk berkuasa (will to power). Dalam gagasan tersebut, ia menyatakan Allah itu sudah mati/konsep nihilisme. Hal ini berangkat dari konsep Allah sebagai nilai tertinggi pasti mempunyai nilai turunan. Nilai-nilai turunan itu adalah manusia, manusia malah melawan dan menghancurkan nilai-nilai tersebut. Konsekuensi logisnya ialah Allah sebagai nilai tertinggi sudah mati. Nietzsche beranggapan manusia harus keluar dan tidak bergantung dari Allah, manusia power-uber man.

Filsafat Kontemporer
Filsafat Kontemporer terbagi atas:
·         Eksistensialisme
Berkembang di daratan Eropa
Tokoh-tokohnya seperti: Heidegger, Kierkegaard

·         Fenomenologi
Tokohnya seperti: Husserl
Baik eksistensialisme maupun fenomenologi, keduanya disebut pula Filsafat Kontinental. Filsafat ini merupakan imbangan dari filsafat analitik.

·         Positivisme
Tokohnya seperti: Auguste Comte

·         Pragmatisme
Tokohnya seperti: William James

·         Filsafat Analitik
Filsafat ini dikembangkan oleh bangsa-bangsa yang berbahasa inggris seperti Amerika, Australia, Selandia Baru, Skandinavia. Disebut juga dengan istilah filsafat Anglosaxon.
Tokoh-tokohnya seperti Wittgenstein, Karl Poper yang terkenal dengan gagasannya mengenai falsifikasi. Pembuktian pada kebenaran jangan melalui jalur verifikasi tetapi melalui jalur falsifikasi, carilah alasan-alasan logis yang bisa menjatuhkan teori tersebut. Kalau tidak ada, berarti teori itu dapat dikatakan teori yang paling benar untuk masa itu. Kemungkinan selalu ada teori baru di hari depan.

      Sumber: Mata Kuliah Filsafat, Fakultas Filsafat UNPAR


Minggu, 28 April 2013

Aku Kata, Kata Aku



Aku Kata, Kata Aku
Aku....diciptakan oleh Sang Pencipta
Berawal dari ketidaksadaran dan ketidaktahuan
Kemanakah Ku harus melangkah...
Kehadiran mu dan diriku bukan suatu kebetulan...
Kita adalah pemeran dalam suatu sandiwara,..
Sandiwara kesedihan, tawa, sukacita, dan dendam
Jangan sia-siakan yang ada, kita bisa mengubahnya...
Bahkan mengubah alur ceritanya...itulah hidup




Aku Kata,
Aku adalah kata. Kata yang terwujud menjadi daging bernyawa. Awalnya pun aku adalah kata. Entah kata yang datang dari Sang Pencipta untuk menghadirkan aku dalam dunia ini. Entah kata yang datang dari kedua orang tua ku saat mereka memadu kasih. Entah kata yang datang dari dokter dan pekerja medis saat menarik aku keluar dan memaksa aku untuk menghirup nafas kehidupan. Entah kata dari siapa saja yang bertemu dengan diriku dan menjadikan diriku adalah kata yang hidup. Kata itu membuat aku menjadi hadir dan ada. Aku telah terkonsep lewat kata dan tak ada yang kebetulan - Kehadiran mu dan diriku bukan suatu kebetulan...
Kata Aku,
Aku pun berkata. Berkata untuk memberikan identitas. Berkata untuk mengkonsepkan siapa gelagat diriku. Berkata untuk membangun benteng argumentasi. Berkata untuk memukul lawan debatku.
Aku pun berkata. Dari perkataan ku lahirlah otoritas diriku. Otoritas untuk memimpin diri ku sendiri. Otoritas untuk menentukan diriku sebagai pemeran dalam sandiwara hidup ini.
Aku pun berkata. Bukan untuk menghafal dialog dalam sandiwara hidup. Bukan pula mengikuti alur yang ada. Kita adalah pemeran dalam suatu sandiwara,..

Aku pun berkata dengan maksud melawan naskah sandiwara hidup. Dengan maksud mencurigai kesedihan, tawa, sukacita dan dendam sebagai kenyataan yang terwujud dalam kata. Dengan maksud mempertanyakan darimana datangnya kata sedih, tawa, sukacita, dan dendam itu. Dengan maksud yang paling radikal yakni mengubah cerita pada alur hidup ini.

Aku Kata, Kata Aku
Melalui kata aku menjadi penguasa sekaligus pecundang....
sebab aku mengenal kedua kata itu.

Idealisme Jerman (Sebuah Pengantar Filsafat)

Batasan idealisme
·         Etimologis
Idealisme berasal dari kata Idea; Eidos yang berarti gagasan, hal-hal yang berkaitan dengan mental. Ide ini  juga melalui realitas mental. Oleh sebab itu ada sebutan ‘mentalisme’.
Dengan demikian secara etimologis, idealisme berarti pandangan yang menekankan realitas mental sebagai realitas yang ada. Dengan kata lain: realitas mental adalah dasar dari realitas yang nyata.
·         Substansial
Idealisme berarti studi kritis/pemikiran filsafati yang menyatakan bahwa realitas yang benar adalah realitas mental. Dengan kata lain, satu-satunya realitas yang sah adalah realitas yang berdasarkan akal budi, selain itu dapat pula dikatakan idealisme merupakan pemikiran filsafat yang menyakini bahwa realitas yang sejati berawal dari realitas mental atau pemikiran filsafat yang menyakini bahwa kebenaran berasal dari subyek (asal-muasal kebenaran itu subyek). Dengan demikian dapat dikatakan kebenaran adalah pengetahuan yang sah dan pengetahuan yang sah adalah realitas yang benar.

Sejarah singkat
Idealisme klasik bermula dari Plato, namun filsafat Plato belum dapat disebut sebagai idealisme karena filsafat Plato masih tercampur-baur dengan 2 konsep filsafatnya yakni rasionalisme dan realisme. 
Idealisme Plato menyatakan bahwa realitas itu berasal dari dunia ide. Sementara makna ide menurut Plato berbeda dengan definisi ide pada idealisme. Perbedaan makna itu terletak pada:
·         Ide Plato disebut pula struktur ontologis, ide ada di dunia ide dan realitas konkret sebenarnya adalah bayangan, tiruan dari dunia ide. (struktur ontologis ialah dasar yang menyebabkan Ada)
·         Ide pada idealisme berarti bahwa kebenaran ada pada kita, ada pada subyek, ide tidak terpengaruh pada dunia di luar subyek.
Bagi Plato, ide itu seperti being-in-itself yang menjadi dasar dari being-for-itself. Pada tahap berikutnya, filasafat dari Immanuel Kant menyebut being-in-itself sebagai Noumena dan being-for-itself sebagai Fenomena. Fenomena tidak pernah ada tanpa noumena, kita sendiri pun tidak bisa tahu apa noumenanya, yang dapat kita ketahui hanya bayangannya/fenomennya/being-for-itself.  Dengan demikian ide Plato tidak dapat disamakan dengan ide yang ada pada otak kita (ide menurut idealisme), dan ide Plato itu tidak pernah bisa diketahui.

Idealisme sebagai aliran filsafat
Leibniz mulai memomulerkan aliran filafat-idealisme ini pada abad ke-18. Bagi Leibniz, ada realitas nyata yang bergantung pada mental. Pengetahuan sejati ialah pengetahuan mental atau aktifitas kegiatan mental. Realitas eksternal bergantung pada si subyek, tanpa si subyek tidak akan ada realitas mental. 
Setelah Leibniz, idealisme berkembang dalam gerakan baru yakni Idealisme Jerman.

Idealisme Jerman
Idealisme Jerman ialah gerakan intelektual dan budaya yang berlangsung selama 40 tahun (1790-1830). Gerakan pemikiran ini merambah bidang filsafat dan teologis. Gerakan ini sekaligus merupakan reaksi dari munculnya gerakan pencerahan (enlightment movement) yang dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804) dengan kata-katanya yang terkenal ‘Sapere Audere’ yang berarti beranilah berpikir.
Kekuatan akal budi diterima secara baik di Jerman. Disebut idealisme Jerman karena kenyataan/realitas itu identik dengan ide, gerakan ini sekaligus ingin merombak idealisme Plato. Apa yang disebut bayangan pada Plato itulah yang disebut IDE pada idealisme Jerman. Bayangan (Plato) adalah realitas yang nyata dan juga IDE itu sendiri. Bagi idealisme Jerman, rasio itu dasar/primordial mutlak dari kenyataan/realitas. Gerakan idealisme Jerman juga merupakan gerakan ketakbergantungan rasio pada realitas dan termasuk gerakan dominasi akal atas sensasi, ilmu-imu fisika, dan teologi natural.
Idealisme Jerman terbagi atas  empat jenis yakni idealisme transendental, idealisme subyektif, idealisme obyektif, dan idealisme absolut.

1.      Idealisme Transendental
Tokohnya ialah Immanuel Kant (1724-1804)
Dasar pemikiran Kant berangkat dari persoalan being yang telah disinggung Parmenides. Bagi Parmenides, being itu tetap dan sudah jelas. Berbeda dengan Heraklitus yang menyatakan bahwa being itu berubah, tidak tetap. Bagi Kant, being itu tidak jelas, tidak kelihatan dan dicerap indera.
Pengertian transendental berbeda dengan istilah transenden. Transenden berarti hubunga/relasi pada yang trans, pada yang luhur, berada jauh dari si subyek. Lawan dari transenden ialah imanen, yang berada dalam diri, ada di dalam subyek. Dengan demikian, transendental merupakan perpaduan antara yang jauh dengan yang dekat, menyatukan keduanya atau sintesis (perpaduan) antara konsep transenden dan konsep imanen. Tidak berarti transenden dan tidak pula berarti imanen. Sintesis ini dihasilkan melalui Pengujian Kritis Rasio.
Bagi Kant, apa yang disebut imanen adalah apa yang berada pada dunia dan transenden adalah apa yang berada pada si subyek. Filsafat Kant juga menjembatani dua aliran filsafat sebelumnya yakni rasionalisme (tokoh: Rene Descartes) dan empirisme (tokoh: David Hume). Dalam pemikiran Kant, subyek (rasionalisme) persisnya seperti intuisi,  intuisi murni yang adalah hal-hal apriori. Contoh intuisi murni yakni ruang dan waktu. Kita tidak dapat merasakan ruang dan waktu namun kita mengalaminya. Sementara, dunia (empirisme) adalah hal-hal obyektif yang kita alami. Dengan demikian, interaksi terjadi antara subyek yang mengeluarkan sesuatu dan dunia yang menawarkan sesuatu. Istilah being pun menjadi transendental being sebab menjembatani unsur-unsur apriori dan unsur-unsur aposteriori.
Kant beranggapan bahwa ada 3 tahap dalam proses pengetahuan murni yakni:
·         Pengalaman indrawi    : pengalaman yang langsung dicerap oleh indra (Verstand).
·         Akal                            : akal memberi gambaran-gambaran, mulai mengkategorikan (Vernung).
·         Rasio/Budi                  : mulai untuk mengambil kesimpulan.
Melalui tiga tahap ini dapat diperoleh pengetahuan murni. Idealisme transendental disebut pula idealisme kritis sebab dalam pengambilan kesimpulan, rasio melakukan autokritik (mengkritik dirinya sendiri agar penilaian menjadi murni) dan menyampingkan segala kencendrungan subyektif seperti minat, bakat, selera dsb. Metodenya disebut sintetik apriori.


2.      Idealisme Subyektif
Tokoh: Fichte (1762-1814)
Fichte adalah filsuf pertama yang mengembangkan serta mengenalkan istilah ‘dialektika’ (mengenalkan unsur tesis dan antitesis). Bagi Fichte, pemikiran idealisme subyektif ini berangkat dari tesis dan antitesis. Ego adalah tesis dan Non-Ego itu adalah antitesis sehingga sintesisnya ialah Ego Absolut.

Pemikiran umum
Ego itu adalah subyek sekaligus tesis sementara antitesisnya adalah dunia eksternal. Segala yang berada di luar Ego dan segala sesuatu yang bukan SAYA  adalah Non-Ego. Ego menampakkan diri dan dikenal oleh dunia serta berhadapan dengan dunia. Konsekuensinya yakni Ego mengetahui dirinya karena berhadapan dengan yang bukan Ego (Non-Ego). Saya adalah saya, saya menjadi saya karena ada sesuatu yang bukan saya.
Ego yang telah menjadi Aku, atas konfirmasi dari Non-Ego itulah yang disebut Ego Absolut. Ego absolut menjadi dasar bagi knowing subject. Semua pengetahuan merupakan produk dari knowing subject. Selalu ada interaksi dari Ego dan Non-Ego untuk menjadi Ego absolut yang merupakan dasar bagi knowing subject. Ego menentukan dunia eksternal, dunia ada karena ada Aku. Aku menentukan dan mengkonfirmasi adanya sesuatu.

3.      Idealisme Objektif
Tokoh : Schelling (1775-1854)
Bagi Schelling, Ego (menurut pemahaman Fichte) pasti memerlukan Non-Ego. Sebab tidak ada subyek tanpa obyek dan sebaliknya, obyek tanpa subyek.  Kosekuensinya yakni IDE sama seperti dengan gambaran-gambaran mental. Ide yang berada pada subyek atau gambaran mental ini sama dengan obyek. Dengan demikian subyek adalah obyek itu sendiri. Subyek (the ideal) sama dengan obyek (the real). Apa yang ada nyata sama seperti apa yang ada di pikiran.
Berangkat dari pemikirannya, Schelling menyebut alam semesta/dunia eksternal ini dengan istilah intelegensi yang kelihatan. Ia menyebut Ego sebagai natura naturans dan Non-Ego sebagai natura naturata. Alam yang sama itu adalah alam yang diciptakan sekaligus alam yang menciptakan.
Dengan demikian ego itu ada di realitas dan obyektif, bukan ada pada subyek dan subyektif. Sementara subyek itu berada dalam obyek itu sendiri.

4.      Idealisme Absolut
Tokoh : G.W.F Hegel (1770-1831)
Immanuel Kant berakhir dengan kesimpulan dualisme-nya yakni noumena dan fenomena sementara filsafat Hegel ingin menyempurnakan filsafat Immanuel Kant. Titik tolak filsafat Hegel adalah kesimpulan dari filsafat Kant.
Bagi Hegel, Fichte terlalu menekankan peranan Ego (idealisme subyektif) sementara Schelling menekankan peran alam. Justru dua dasar ini dapat didialektikakan, antara alam dengan subyek dan menghasilkan realitas sejati sebagai sintesisnya.
Idealisme absolut ini hendak mengatasi idealisme subyektif dan idealisme obyektif dalam rangka menyempurnakan idealisme transendental. Disebut idealisme absolut karena berasal dari Ide Absolut/Roh Absolut. Roh absolut ini berdialektika sehingga menjadi tampak dan terlihat dari abstrak universal menuju konkret universal. Persisnya ada 3 tahap realisasi roh dari abstrak universal ke konkret universal, yakni:

·         Ketika roh berada dalam keadaan Ada dalam Dirinya Sendiri.
Roh yang berada dalam dirinya sendiri, ilmunya disebut Logika. Roh itu adalah Ada, Being berdialektika dengan Nothing sehingga menghasilkan tesis becoming. Apa yang noumena merupakan logika. Logika itu sesuatu yang tidak menambah kesimpulan sebab berasal dari dua premis, berasal dari dirinya sendiri. Namun pada saat yang sama yang ada dalam dirinya sendiri itu tidak ada. Being sama dengan nothing; ada tapi tidak ada. Ini yang disebut oleh Kant dengan istilah das Ding an sich (benda pada dirinya sendiri).

·         Being itu berbeda dengan dirinya sendiri
Roh itu berbeda dengan dirinya sendiri dan merealisasikan diri pada sesuatu yang bukan dari roh itu sendiri. Ilmu filsafatnya disebut filsafat alam atau kosmologi. Ide yang absolut keluar dari dirinya sendiri lalu masuk ke dalam alam spasial-temporal. Dengan begitu, alam itu penjelmaan dari roh  absolut dalam keadaan yang ada dan nyata. Penampakan yang ada itu bukan roh absolut, yang dapat diketahui yakni penjelmaanya barulah dari penjelmaanya ini dikenal roh absolut.



·         Roh absolut berada dalam dirinya dan bagi dirinya sendiri
Ilmu filsafat yang mempelajarinya adalah filsafat Roh. Being in itself sekaligus being for itself. Terbagi atas 3 tahap, yakni:

1.      Ada roh subyektif
Pada tingkat subyektif masih dibalut oleh alam, bersifat individual dan mulai berproses dari luar dirinya sendiri menuju dirinya. Roh ini merupakan bagian dari alam dan terjelma dalam manusia.

2.      Ada roh obyektif
Roh menjelma bukan pada individu melainkan pada komunitas kolektif sehingga muncul dalam moralitas, etika, dan hukum. Adanya lembaga, institusi, keluarga, massa, dan negara merupakan penjelmaannya.

3.      Ada roh absolut
Puncak penjelmaan roh itu adalah filsafat. Filsafat itu sintesis dari dialektika seni dan agama. Filsafat menyuguhkan apa yang riil sama dengan apa yang rasional (the real = the rational). Yang mutlak ada diamati dalam seni dan dipahami dalam agama berada pada filsafat. Ada pemikiran murni dan keduanya dipahami secara murni pula.

Geist (Roh absolut) merupakan sintesis dari Idea Plato dengan telos (tujuan) dari Aristoteles. Idea plato yang adalah roh absolut berdialektika terus-menerus hingga sesuai dengan telos.

Implikasi dari Idealisme
·         Idealisme itu berbicara tentang tujuan semesta, semesta memiliki tujuan. Tafsiran ilmu empiris dianggap terbatas. Bagi idealisme, ilmu empiris hanya merupakan data-data konkret, tidak memercayai adanya Roh yang mendasari gerakan ini.
   Bagi idealisme, Tuhan itu hanya sebatas jaminan eksistensi dunia sehingga tak ada relasi manusia dengan Tuhan. Segala yang berkaitan dengan rohani seperti doa-doa, kegiatan spritual dsb tidak mendapat perhatian khusus. Eksistensi Tuhan tetap diakui hanya saja berfungsi sebagai penjamin eksistensi, tidak ada relasi khusus.
   Idealisme memberi landasan moral yang objektif, karena manusia digerakkan sesuai dengan apa yang ada pada visi dan misinya. Visi ini pastilah visi roh obyektif. Menurut satu orang ini benar maka roh yang sama itu tidak akan menyangkal dirinya.

Catatan kritis bagi idealisme
  • ·      Kekuatan ide terletak pada penekanan pribadi manusia dan segi mental/segi spiritual. Sementara ada realitas yang non-material, yang mempunyai unsur-unsur non-material.
  • ·         Ide cocok untuk orang-orang yang menyukai hal-hal spiritual.
  • ·         Idealisme ini terlalu abstrak dan kurang ilmiah.
  • ·       Alam yang adalah apa yang kita pikirkan sementara dalam kenyataannya ada hal-hal yang tidak masuk akal. Harusnya semua masuk akal karena berasal dari satu akal.
  • ·   Idealisme mencampuradukan gagasan dan kenyataan, apa yang riil dan apa yang rasional disama-ratakan.
  • ·       Geist (roh) adalah idea yang membiarkan hal-hal negatif sebagai proses menuju kesempurnaan. Dalam kasus kejahatan, idealisme menganggap kejahatan disahkan dan dianggap sebagai bagian menuju kebaikan (penyempurnaan realitas).

 Sumber:
 Mata Kuliah Pengantar Filsafat (Berbagai Aliran Filsafat), Fakultas Filsafat Unpar