Masyarakat merupakan kumpulan populasi manusia
sebagai makhluk hidup sosial yang terorganisir dalam berperilaku guna mencapai
tujuan bersama. Menurut Ralph Linton, masyarakat merupakan setiap kelompok manusia
yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur
diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan
batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.[1] Pada
masyarakat pula terdapat struktur sosial yang mengutamakan prilaku dalam
membentuk hubungan yang erat antarindividu dan kelompok. Status dan peran
merupakan bagian dari elemen struktur sosial tersebut.
Dalam perkembangan lebih lanjut, setiap individu
secara bertahap akan mengambil status dan menjalankan peran sesuai status yang
diemban. Seperti dalam keseharian adanya profesi guru, pedagang, pendeta,
nelayan, polisi dsb tidak semata-mata karena faktor tuntutan ekonomi tetapi
secara sadar mereka mengambil peran dan menjalankan peran sesuai dengan status
yang diemban. Status dan peran sangat berpengaruh dalam perkembangan
masyarakat. Dapat dikatakan pula, salah satu penyebab terhambatnya perkembangan
masyarakat adalah disfungsi peran individu maupun pranta-prata sosial. Bisa
dibayangkan jika polisi tidak menjalankan peran sebagaimana mestinya, tentu
tidak ada batas antara pelanggaran dengan ketaatan pada norma dan aturan.
Bagaimanapun juga, status dan peran sangat memengaruhi sejauh mana tingkat
perkembangan masyarakat.
Status
dan peran dalam batasan sosiologis
Perlu dibedakan pula antara pengertian status dengan status sosial. Status lebih diartikan sebagai tempat atau posisi
seseorang dalam suatu kelompok sosial sehubungan dengan orang-orang lain dalam
kelompok tersebut. Sementara status sosial adalah tempat seseorang secara umum
dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain dalam arti lingkungan
pergaulannya, hak-hak dan kewajibannya. Status sosial tidaklah semata-mata
berarti kumpulan kedudukan seseorang dalam kelompok-kelompok yang berbeda, akan
tetapi kedudukan-kedudukan sosial tersebut memengaruhi kedudukan orang tersebut
dalam kelompok-kelompok sosial yang berbeda.
Menurut Ralph Linton, status mempunyai dua arti.[2]
Secara abstrak, status berarti tempat seseorang dalam suatu pola tertentu.
Dengan demikian, seseorang dikatakan mempunyai beberapa status, oleh karena
seseorang biasa ikut serta dalam berbagai pola-pola kehidupan. Pengertian
tersebut menunjukkan tempat sehubungan dengan kerangka masyarakat secara
menyeluruh. Status Tuan A sebagai warga masyarakat bisa dikatakan sebagai
kombinasi dari segenap statusnya sebagai guru, kepala keluarga, ketua RT, suami
dari Nyonya B dan status-status lainnya.
A status, in the
abstract, is a position in a particular pattern. It is thus quite correct to
speak each individual participates in the expression of a number of patterns.
However, unless the term is qualified in some way, the status of any individual
means the sum total of all the statuses which he occupies. It represents his
position with relation to the total society. Thus the status of Mr. Jones as a
member of his community derives from a combination of all the statuses which he
holds as a citizen, as an attorney, as a Mason, as a Methodist, as Mrs. Jones’s
husband, and so on. [3]
Sementara, peran (role) merupakan aspek yang dinamis dari status. Di sini diandaikan
bahwa seseorang yang telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
status yang ia emban berarti ia telah menjalankan suatu peran. Pembedaan antara
status dan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan padahal keduanya
tak dapat dipisahkan oleh karena yang satu tergantung pada yang lain dan
sebaliknya.
A role
represents the dynamic aspect of a status. The individual is socially assigned
to a status and occupies it with relation to other statuses. When he puts the
rights and duties which constitute the status into effect, he is performing a
role. Role and status are quite inseparable, and the distinction between them
is of only academic interest. Thee are no roles without statuses or statuses
without roles.[4]
Menurut Ralph Linton pula, peran memiliki dua arti. [5] Pertama,
setiap orang memiliki berbagai peran yang berasal dari pola-pola pergaulan
hidupnya dan hal itu sekaligus berarti bahwa peran tersebut menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat
dan berbagai kesempatan yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Fungsi peran
adalah mengatur perilaku seseorang dan juga bahwa peran menyebabkan seseorang
pada batas-batas tertentu dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain,
sehingga dengan demikian, setiap orang yang menjalankan peranan tertentu akan
saling menyesuaikan satu dengan yang lainnya. Kedua, hubungan sosial dalam
masyarakat merupakan hubungan antara peran sesama individu dalam masyarakat.
Tentunya, peran-peran tersebut diatur oleh norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat. Peran lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan
sebagai suatu proses. Idealnya, seseorang menduduki status tertentu dalam
masyarakat serta menjalankan peran tersebut secara optimal.
Disfungsi
peran
Krisis multidimensi yang merambah di setiap bidang
kehidupan berbangsa tidak hanya disebabkan oleh norma dan aturan yang tidak
terwujud tetapi juga dari sudut pandang sosiologis, krisis yang berkepanjangan
ini dapat disebabkan oleh disfungsi peran baik masyarakat maupun
pranata-pranata sosial lainnya. Hal ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa peran
yang semestinya dilaksanakan tidak sesuai dengan status yang diemban. Status
yang semestinya menjadi tempat terwujudnya peran tidak berlangsung secara
optimal.
Kondisi dilematis yang terjadi saat ini diperparah
dengan mental masyarakat mengenai status dan peran. Perolehan status hanya
semata-mata sebagai syarat formalitas dan sarana untuk mencukupi kehidupan
ekonomi. Sementara, peran yang semestinya dilakukan tidak terwujud. Batas
antara mana yang menjadi kewajiban individu untuk menjalankan perannya dengan
hasrat untuk memperoleh kemakmuran di bidang ekonomi sudah tidak jelas lagi.
Hal ini dapat terlihat pada sikap reaktif ketimbang
proaktif pada setiap bidang kehidupan. Tidak adanya respon positif terhadap berbagai
kemungkinan yang terjadi di masa depan dan cenderung untuk mengobati daripada mencegah.
Atmosfir seperti ini seakan telah menjadi produk dan
brand bagi masyarkat Indonesia
mengingat bahwa mental yang dikembangkan lebih pada soal yang penting gaya (status)dulu soal tindakan (peran) nanti. Padahal
sebagaimana ditekankan di atas bahwa status dan peran tidak dapat dipisahkan
mengingat keduanya tidak dapat terwujud tanpa kehadiran yang satu. Dengan
demikian, keadaan semacam ini tidak berujung pada penyelesaian yang kondusif
tetapi malah menelurkan
generasi-generasi bermental reaktif dan tidak memahami peran yang semestinya
dilakukan.
Upaya
mengatasi disfungsi peran
Sebagai upaya yang dapat diwujudkan secara
sederhana, teori George Herbert Mead mengenai Generalized Other atau “orang lain pada umumnya”[6]
dapat membantu persoalan perwujudan status dan peran. Dalam teorinya, Mead
beranggapan bahwa sebelum bertindak, manusia mengenakan arti-arti tertentu
kepada dunianya sesuai dengan skema-skema interpretasi yang telah disampaikan
kepadanya melalui proses-proses sosial. Baik kelakuan sendiri maupun kelakuan
orang lain senantiasa disesuaikan dan diserasikan dengan arti-arti tertentu
itu. Berbeda dengan reaksi binatang yang bersifat instingtif dan langsung.
Kelakuan manusia diawali dengan proses-proses pengertian dan penafsiran karena
bercorak tak langsung.
Sehubungan dengan proses-proses ini yang mengawali
perilaku manusia, konsep pengambilan
peran (role taking) sangat
penting. Maksudnya, sebelum seseorang bertindak, ia membayangkan dirinya pada
posisi orang lain dan mencoba untuk memahami apa yang diharapkan oleh pihak itu
dari subjek-subjek tertentu. Hanya dengan menyerasikan diri interaksi dapat
terwujud. Sebagai contoh, sebelum bertindak sebagai seorang polisi, orang yang
bersangkutan harus mengambil alih peran polisi itu dari orang-orang lain
(imitasi). Dengan begitu, pola kelakuannya diserasikan dengan apa yang
diandaikan oleh masyarakat menjadi kelakuan polisi.
Semakin orang mengambil alih atau membatinkan
peranan-peranan sosial, semakin terbentuk pula identitasnya. Proses pengambilan
peranan-peranan yang berhubungan erat dengan pembentukan diri berujung pada
rasa memiliki suatu gambaran tentang generalized
other, yaitu “orang lain pada umumnya”. Dengan demikian peran yang awalnya
berasal dari tuntutan publik menjadi tanggung jawab moral yang harus dilakukan.
Status dan peran merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana interaksi yang dibangun tidak terlepas dari keberadaan status dan peran seseorang. Dalam pengembangan selanjutnya, interkasi antaranggota maupun kelompok menjadi tolok ukur keintiman sebuah kelompok atau kesatuan sosial. Interaksi tersebut dapat terjalin jika masing-masing anggota saling mengadakan kontak sosial dan komunikasi yang baik. Kontak sosial tidak semata-mata bergantung dari tindakan tetapi juga tanggapan terhadap suatu tindakan tertentu. Baik kontak sosial maupun komunikasi sosial, keduanya bergantung dari peran yang dimainkan dari setiap individu dan pranata-pranata sosial di dalamnya.
Status dan peran merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana interaksi yang dibangun tidak terlepas dari keberadaan status dan peran seseorang. Dalam pengembangan selanjutnya, interkasi antaranggota maupun kelompok menjadi tolok ukur keintiman sebuah kelompok atau kesatuan sosial. Interaksi tersebut dapat terjalin jika masing-masing anggota saling mengadakan kontak sosial dan komunikasi yang baik. Kontak sosial tidak semata-mata bergantung dari tindakan tetapi juga tanggapan terhadap suatu tindakan tertentu. Baik kontak sosial maupun komunikasi sosial, keduanya bergantung dari peran yang dimainkan dari setiap individu dan pranata-pranata sosial di dalamnya.
Sumber
Pustaka
Kartasasmita,
Pius Suratman. 2010. Modul Kuliah
Sosiologi. —
Soekanto,
Soerjono. 1982. Sosiologi, Suatu
Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali.
Soemardjan,
Selo dan Soelaman Soemardi. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia.
Veeger,
K.J..1985. Realitas Sosial, refleksi
sosial atas hubungan individu-masyarakat dalam cakrawala sejarah sosiologi.
Jakarta: PT Gramedia.
[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar (Jakarta: CV.
Rajawali,1982) hlm. 22.
[2] Ibid., hlm. 234.
[3] Selo Soemardjan-Soelaeman
Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi (Jakarta:-,1964)
hlm. 261.
[4] Ibid.
[5]Soerjono Soekanto,Op. Cit.hlm.
238.
[6] K.J. Veeger, Realitas Sosial,(Jakarta: PT
Gramedia,1985) hlm. 223.
0 comments:
Posting Komentar