Pengantar
Tewasnya
siswa SMA Negeri 6 Mahakam, Alawy Yusianto Putra (15), akibat sabetan celurit
yang diayunkan siswa SMAN 70, FR (19), akhir September lalu, menambah daftar
panjang siswa yang tewas dalam satu dekade. [1]
Perkelahian
antarpelajar baik jenjang SMA maupun perguruan tinggi semakin marak. Tawuran
antarsekolah maupun kampus terjadi secara menyeluruh di kota-kota di Indonesia
seperti Jakarta, dan Makassar. Bahkan sederet kasus tawuran terjadi dalam
rentan waktu relatif singkat. Seperti kasus Jasuli (16) yang terjadi sebulan
sebelum kasus Alawy terjadi. Jasuli seorang siswa kelas IX SMP 6, meninggal
setelah tertabrak kereta api di Stasiun Buaran, Klender, Jakarta Timur. Saat
itu, Jasuli tengah dikejar sekelompok pelajar lain. Bahkan dua hari setelah
kematian Alawy, Deny Yanuar (17), siswa SMK Yayasan Karya 66, tewas terkena
sabetan celurit Djarot (15) dan rekannya yang berasal dari SMK Kartika Zeni,
Matraman, Jakarta Pusat.
Sekolah,
kampus, dan tempat pendidikan informal yang seharusnya menjadi simbol kemajuan
intelektul segera berubah menjadi simbol penyerangan. Sekolah yang satu
menyerang sekolah yang lain. Pelajar yang satu menyerang pelajar yang lain.
Keadaan emosional para remaja yang labil sangat nampak dalam kehidupan
berkelompok. Bila ada anggota kelompok yang diserang maka kelompok menjadi
punya andil untuk melakukan penyerangan. Ada hasrat untuk menjadi yang superior
dan mengalahkan pelajar lainnya dalam rangka pencarian jati diri dan pengakuan publik. Hal inilah yang menjadi sorotan bagi dunia
pendidikan Indonesia saat ini.
Tawuran
sebagai bentuk Sense of Identity remaja
Masa
remaja identik dengan proses pencarian jati diri dan perkembangan emosi yang
labil. Maka tak heran bila para remaja mengidentikan dirinya dengan tokoh
pujaan mereka dengan maksud mereka menemukan jati diri dan mendapat pengakuan
publik. Hal mengenai pencarian jati diri tak terlepas pula dari tawuran.
Tawuran dianggap sebagai ajang pembuktian dan pencapaian afirmasi publik.
Kasus
tawuran tidak serta merta terjadi langsung di lapangan tetapi merupakan proses
panjang bentuk kekerasan yang dilegalkan di sekolah. Sekolah bukan bermaksud
menyetujui adanya tindak kekerasan dalam proses pendidikan namun dalam
aktifitas pendidikan, terselebung berbagai tindak kekerasan. Seperti dalam
kasus Masa Orientasi Sekolah (MOS), seringkali dipakai sebagai wadah pembalasan
dendam senior kepada juniornya dan ketika junior tersebut telah menjadi senior
maka akan menindas kembali juniornya dan seterusnya demikian.
Pengamat
sosial budaya Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, berpendapat bahwa salah
satu penyebab tawuran adalah adanya identitas dan tradisi turun temurun.[2] Identitas
ini (tawuran) terwariskan dari generasi ke generasi berikutnya (sense of Identity) secara alamiah. Hal
ini dapat terlihat pada semua siswa yang mengenal bagaimana cara menggunakan
ikat pinggang untuk menyerang lawannya padahal tidak ada yang mengajarkan.
Pencarian
jati diri pada remaja seringkali berujung pada kekeliruan terlebih dalam hal
kekerasan. Para remaja dengan mudah merasa empati bila rekannya dicederai dan
ada hasrat untuk membalas. Para remaja yang mengalami tindak kekerasan entah
dari lingkungan sekolah, masyarakat, maupun keluarga, akan dengan mudah meniru
tindakan kekerasan tersebut dan menerapkannya pada pihak yang lebih lemah.
Inilah yang disebut bullying. Bully merupakan konsekuensi logis dari
ketidakseimbangan sosial. Di setiap lingkungan sekolah selalu ada siswa yang
kuat, jagoan, lemah dsb. Bila kekuatan dan kelemahan ini tidak diatur maka akan
muncul penindas, yang ditindas, dan penonton. [3]
Ketiga
kelas di atas, penindas, yang ditindas, dan penonton menjadi akar kekerasan di setiap lingkungan.
Pengakuan publik dan pencarian jati diri menjadi jelas setelah kelas penindas
mendapat persetujuan sosial dari kelas penonton. Dengan demikian, proses
pencarian diri sejati pada remaja diselubungi oleh kekerasan.
Tinjauan
Tokoh: Riwayat Hidup Karl Jaspers
”Ia
lahir di Oldenburg, jerman Utara pada 23 Februari 1883. Awalnya ia belajar dan
kuliah di Universitas Heilderberg dan mengambil hukum, tetapi kemudian ia
pindah ke daerah Munchen dengan mengambil jurusan kedokteran dengan menmgambil
spesialisasinya adalah psikiatri. Studi Jaspers mengenai psikiatri Allegemeine Psychopathologie, menjadi
buku pegangan klasik yang tetap dipakai. Pada awalnya ia bekerja sebagai
psikiater di universitas Heidelberg, tetapi akhirnya juga ia menjadi seorang
dosen untuk psikologi, dan akhirnya juga pada tahun 1922 ia diangkat sebagai
guru besar untuk filsafat sampai akhirnya ia diusir oleh Nazi karena dituduh
menyerang mereka.”[4]
Setelah
Perang Dunia kedua, Jaspers mengalami jaman keemasannya. Ia pindah ke Basel di
Swiss dan menjadi warga negara Swiss. Pada akhir hidupnya Jaspers mengarang
mengenai masalah-masalah perang dan damai, masalah politik, tentang suatu “iman
filosofis” yang harus merupakan lapangan diskusi dalam usaha untuk mengatasi
perbedaan-perbedaan antara agama-agama. Juga usahanya untuk mengarang suatu
sejarah filsafat seluruh dunia yang dimaksudkan sebagai sumbangan untuk
mempermudah komunikasi antara kebudayaan-kebudayaan yang berbeda, dan pada
akhirnya ia meninggal di Basel pada 1969.
Konsep
Pemikiran Karl Jaspers
Secara
umum, Karl Jaspers membagi filsafatnya atas filsafat yang berorientasi dunia (Weltorientierung), filsafat yang
menjelaskan eksistensi (Existenzerhellung)
dan filsafat yang transenden (Transzendenz),
dimana ketiganya ini dipandang sebagai cakrawala. Namun, pembahasan makalah ini
hanya difokuskan pada pemikiran Karl Jaspers mengenai filsafat yang menjelaskan
eksistensi.
Bagi
Jaspers, eksistensi mempunyai pemahamannya sendiri. Namun sebelum memahami
pengertian eksistensi, perlu dipahami terlebih dahulu apa oleh Jaspers disebut situasi. Situasi bukannlah apa yang umum
disebut sebagai situasi atau keadaan, tempat manusia berada. Manusia bergerak
dalam kawasan hal-hal yang obyektif setiap hari. Dari hal tersebut, manusia
berusaha untuk mencari penjelasan dan mendapatkan realitas yang sebenarnya demi
mendapat kepastian. Namun usaha tersebut tidak memberi hasil. Dalam kenyataan,
manusia selalu dihadapkan dengan hal-hal yang tanpa batas, tanpa sesuatu yang
mendasari, sehingga manusia selalu dikacaukan. Manusia mulai menyadari yang
sebenarnya yakni tidak memiliki alas
berpijak, tanpa harapan. Situasi inilah yang sebenarnya secara eksistensial
manusia dapat menemukan dirinya sendiri.
Pengalaman
situasi ini merupakan suatu pengalaman reflektif, suatu pengalaman yang terus
dipikirkan berulang-ulang. Dalam permenungan tersebut, manusia membuat jarak
antara dirinya dengan segala hal yang objektif, dengan dunia. Inilah yang
disebut sebagai hal yang eksistensial itu, ada jarak dari dunia yang objektif,
yang tanpa batas, tanpa harapan, dan yang tidak dapat diraih ini, serta kembali
kepada diri manusia itu sendiri, kepada situasi manusia itu. Jadi situasi
adalah kenyataan bagi suatu subjek yang sebagai Dasein dimasukkan ke dalamnya. Bagi subyek, situasi berarti
pembatasan atau ruang gerak. Setiap orang dapat mengubah dan menghindari
situasi ini. Namun ada juga situasi yang mutlak, yang tidak dapat dihindari,
yaitu situasi perbatasan (Grenz-situastion),
yang menjadi kawasan yang tidak dapat ditembus, tidak dapat diketahui, dan
hanya dapat dirasakan oleh eksistensi yaitu jikalau manusia berada di dalam
situasi tertentu seperti kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan.[5]
Manusia dapat tumbuh menjadi dirinya sendiri oleh karena keberanian untuk
memasuki situasi perbatasan ini. Hanya situasi perbatasanlah yang mewujudkan
keseluruhan eksistensi menjadi kenyataan.
Eksistensi
bukanlah objek. Bagi Jaspers, eksistensi hanya dapat diterangi dengan menggunakan
kategori-kategori sendiri seperti kebebasan, komunikasi, dan sejarah.
Eksistensi diungkapkan sebagai perbuatan, sebagai pemilihan, sebagai kebebasan.
Perbuatan yang terwujud dari diri manusia sendiri tanpa syarat menunjukkan
bahwa sebenarnya manusia itu bebas. Di dalam pemilihan yang benar-benar bebas
ini manusia menemukan siapa dirinya, manusia baru mengenal siapa dirinya.
Menurut
Jaspers, eksistensi tidak dapat diwujudkan secara terpisah, tanpa ikatan
eksistensial dengan eksistensi yang lain. Ikatan inilah yang disebut
komunikasi, komunikasi eksistensial lebih tepatnya. Komunikasi eksistensial
berbeda dengan komunikasi dalam pengertian umum. Komunikasi eksitensial lebih
mendalam dan di dalamnya manusia membuka diri bagi sesamanya dan ada kepercayaan
yang mendorong manusia untuk menyerahkan diri kepada sesamanya. Sumber
komunikasi ini adalah cinta kasih.
Manusia tidak dapat sampai kepada dirinya, jikalau tidak bersama-sama dengan
orang lain.
Relevansi
dan Solusi
Tawuran
yang terjadi antarpelajar SMA maupun perguruan tinggi dapat dikaitkan dengan
konsep eksistensi Karl Jaspers. Pendekatan yang utama dapat melalui dua hal
yakni pengolahan situasi diri dan pengembangan komunikasi eksistensial.
Situasi memungkinkan
manusia untuk sampai pada pengenalan diri yang sesungguhnya. Seperti yang
dikatakan oleh Jaspers, situasi memungkinkan manusia mengenali dirinya sebab
dalam situasi eksistensial manusia terus merenungi dirinya dan mengambil jarak
dengan objek, dunia, dan segala yang berada di luar diri.
Dalam
kaitan dengan tawuran antarpelajar, hal yang perlu mendapat tekanan yakni
persoalan kurikulum pendidikan. Perlu diadakan kurikulum yang tidak hanya
menekankan sisi intelektual tetapi juga sisi afektif. Pengakuan dari Wakil
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim, kasus tawuran sekarang menjadi
momentum menata kembali kurikulum satuan pendidikan yang kini tengah dilakukan
pemerintah. Penataan dilakukan dengan menyeimbangkan mata pelajaran
pengetahuan, kemampuan, dan karakter atau sikap. Musliar mengakui, kurikulum
yang berbasis kompentensi ini menyebabkan mata pelajaran kepada anak didik
dinilai sangat berlebihan. Akibatnya, siswa didik terbebani.
Kurikulum
yang menekankan afektif dapat membantu siswa untuk mengenali situasi yang
dimaksud oleh Jaspers. Sebab dalam kurikulum berbasis afektif, yang menjadi
tujuan yakni proses penyeimbangan antara ilmu yang didapat dengan akhlak yang
harus diwujudkan. Siswa selalu dihadapkan pada ilmu-ilmu yang memiliki ideal
tertentu sementara dalam keseharian ilmu-ilmu tersebut selalu dikonfrontasikan
dengan realitas. Kesenjangan antara ilmu sebagai suatu yang ideal dengan
realitas di lapangan membuat siswa enggan
untuk menerapkan ilmu dalam kenyataan keseharian. Padahal bagi Jaspers, manusia
terus-menerus dihadapkan pada realitas tanpa batas, tanpa pijakan, dan juga
pada sesuatu yang ideal. Namun manusia tidak serta merta lari dari situasi
begitu saja tetapi terus menerus mengambil jarak dan merefleksikannya. Pada
siswa, ilmu-ilmu tersebut hendaknya selalu berdistansi dengan siswa dengan
tujuan siswa mampu merenungi dan mengasah sisi afeksi.
Kaitan
dengan komunikasi eksistensial yakni penekanan pada sumber komunikasi itu
sendiri yang adalah cinta kasih. Dengan cinta kasih maka sangat dimungkinkan
setiap anak didik menyadari keberadaanya dan tujuannya dalam proses pendidikan.
Menjadi autentik bagi anak didik tidak lain adalah usaha penyelasaran antara
aktifitas dan identitas. Dengan cinta kasih, anak didik bersama sesamanya
berproses untuk mengenali diri sendiri dan pemahaman akan diri sendiri akan
berujung pada aktifitas yang sesuai, yang seharusnya dilakukan.
Daftar
Pustaka
Hadiwijono, Harun.1980.
Sari Sejarah Filsafat Barat 2.
Yogyakarta: Kanisius.
Hamersma, Harry.1990. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern.
Jakarta: Gramedia.
Van Der Weij, P. A.
1972. Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia.
Jakarta: Gramedia.
Surat
Kabar
Harian KOMPAS. 2012. “Sekolah Ramah Anak Atasi Tawuran”.
Jakarta: KOMPAS.
[1] Suhartono.2012.
“Sekolah Ramah Anak Atasi Tawuran”. Dalam KOMPAS,
19 Oktober 2012. Jakarta
[2] Ibid.
[3] LSM
Peace Generation, Irfan Amalee, menyebut tiga kelas dalam tindak kekerasan
yakni penindas, yang ditindas, dan penonton. Ketiga kelas ini menjadi unsur
utama bullying dan menjadi bibit
kekerasan.
[4] Bdk.
Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat
barat modern, Jakarta: Gramedia, 1990,Hlm. 118
[5] Bdk. Harun
Hadiwijono, sari Sejarah Filsafat Barat 2,
Yogyakarta: Kanisius, 1980, hlm. 170
0 comments:
Posting Komentar