Easy Going

Sabtu, 11 Mei 2013

Noda Hitam Dunia Pendidikan Indonesia (Tinjauan Solusi atas Pemikiran Filosofis Karl Jaspers)



Pengantar
Tewasnya siswa SMA Negeri 6 Mahakam, Alawy Yusianto Putra (15), akibat sabetan celurit yang diayunkan siswa SMAN 70, FR (19), akhir September lalu, menambah daftar panjang siswa yang tewas dalam satu dekade. [1]
Perkelahian antarpelajar baik jenjang SMA maupun perguruan tinggi semakin marak. Tawuran antarsekolah maupun kampus terjadi secara menyeluruh di kota-kota di Indonesia seperti Jakarta, dan Makassar. Bahkan sederet kasus tawuran terjadi dalam rentan waktu relatif singkat. Seperti kasus Jasuli (16) yang terjadi sebulan sebelum kasus Alawy terjadi. Jasuli seorang siswa kelas IX SMP 6, meninggal setelah tertabrak kereta api di Stasiun Buaran, Klender, Jakarta Timur. Saat itu, Jasuli tengah dikejar sekelompok pelajar lain. Bahkan dua hari setelah kematian Alawy, Deny Yanuar (17), siswa SMK Yayasan Karya 66, tewas terkena sabetan celurit Djarot (15) dan rekannya yang berasal dari SMK Kartika Zeni, Matraman, Jakarta Pusat.
Sekolah, kampus, dan tempat pendidikan informal yang seharusnya menjadi simbol kemajuan intelektul segera berubah menjadi simbol penyerangan. Sekolah yang satu menyerang sekolah yang lain. Pelajar yang satu menyerang pelajar yang lain. Keadaan emosional para remaja yang labil sangat nampak dalam kehidupan berkelompok. Bila ada anggota kelompok yang diserang maka kelompok menjadi punya andil untuk melakukan penyerangan. Ada hasrat untuk menjadi yang superior dan mengalahkan pelajar lainnya dalam rangka pencarian jati diri dan pengakuan publik.  Hal inilah yang menjadi sorotan bagi dunia pendidikan Indonesia saat ini.

Tawuran sebagai bentuk Sense of Identity remaja
Masa remaja identik dengan proses pencarian jati diri dan perkembangan emosi yang labil. Maka tak heran bila para remaja mengidentikan dirinya dengan tokoh pujaan mereka dengan maksud mereka menemukan jati diri dan mendapat pengakuan publik. Hal mengenai pencarian jati diri tak terlepas pula dari tawuran. Tawuran dianggap sebagai ajang pembuktian dan pencapaian afirmasi publik.
Kasus tawuran tidak serta merta terjadi langsung di lapangan tetapi merupakan proses panjang bentuk kekerasan yang dilegalkan di sekolah. Sekolah bukan bermaksud menyetujui adanya tindak kekerasan dalam proses pendidikan namun dalam aktifitas pendidikan, terselebung berbagai tindak kekerasan. Seperti dalam kasus Masa Orientasi Sekolah (MOS), seringkali dipakai sebagai wadah pembalasan dendam senior kepada juniornya dan ketika junior tersebut telah menjadi senior maka akan menindas kembali juniornya dan seterusnya demikian.
Pengamat sosial budaya Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, berpendapat bahwa salah satu penyebab tawuran adalah adanya identitas dan tradisi turun temurun.[2] Identitas ini (tawuran) terwariskan dari generasi ke generasi berikutnya (sense of Identity) secara alamiah. Hal ini dapat terlihat pada semua siswa yang mengenal bagaimana cara menggunakan ikat pinggang untuk menyerang lawannya padahal tidak ada yang mengajarkan.
Pencarian jati diri pada remaja seringkali berujung pada kekeliruan terlebih dalam hal kekerasan. Para remaja dengan mudah merasa empati bila rekannya dicederai dan ada hasrat untuk membalas. Para remaja yang mengalami tindak kekerasan entah dari lingkungan sekolah, masyarakat, maupun keluarga, akan dengan mudah meniru tindakan kekerasan tersebut dan menerapkannya pada pihak yang lebih lemah. Inilah yang disebut bullying. Bully merupakan konsekuensi logis dari ketidakseimbangan sosial. Di setiap lingkungan sekolah selalu ada siswa yang kuat, jagoan, lemah dsb. Bila kekuatan dan kelemahan ini tidak diatur maka akan muncul penindas, yang ditindas, dan penonton. [3]
Ketiga kelas di atas, penindas, yang ditindas, dan penonton  menjadi akar kekerasan di setiap lingkungan. Pengakuan publik dan pencarian jati diri menjadi jelas setelah kelas penindas mendapat persetujuan sosial dari kelas penonton. Dengan demikian, proses pencarian diri sejati pada remaja diselubungi oleh kekerasan.

Tinjauan Tokoh: Riwayat Hidup Karl Jaspers
”Ia lahir di Oldenburg, jerman Utara pada 23 Februari 1883. Awalnya ia belajar dan kuliah di Universitas Heilderberg dan mengambil hukum, tetapi kemudian ia pindah ke daerah Munchen dengan mengambil jurusan kedokteran dengan menmgambil spesialisasinya adalah psikiatri. Studi Jaspers mengenai psikiatri Allegemeine Psychopathologie, menjadi buku pegangan klasik yang tetap dipakai. Pada awalnya ia bekerja sebagai psikiater di universitas Heidelberg, tetapi akhirnya juga ia menjadi seorang dosen untuk psikologi, dan akhirnya juga pada tahun 1922 ia diangkat sebagai guru besar untuk filsafat sampai akhirnya ia diusir oleh Nazi karena dituduh menyerang mereka.”[4]
Setelah Perang Dunia kedua, Jaspers mengalami jaman keemasannya. Ia pindah ke Basel di Swiss dan menjadi warga negara Swiss. Pada akhir hidupnya Jaspers mengarang mengenai masalah-masalah perang dan damai, masalah politik, tentang suatu “iman filosofis” yang harus merupakan lapangan diskusi dalam usaha untuk mengatasi perbedaan-perbedaan antara agama-agama. Juga usahanya untuk mengarang suatu sejarah filsafat seluruh dunia yang dimaksudkan sebagai sumbangan untuk mempermudah komunikasi antara kebudayaan-kebudayaan yang berbeda, dan pada akhirnya ia meninggal di Basel pada 1969.

Konsep Pemikiran Karl Jaspers
Secara umum, Karl Jaspers membagi filsafatnya atas filsafat yang berorientasi dunia (Weltorientierung), filsafat yang menjelaskan eksistensi (Existenzerhellung) dan filsafat yang transenden (Transzendenz), dimana ketiganya ini dipandang sebagai cakrawala. Namun, pembahasan makalah ini hanya difokuskan pada pemikiran Karl Jaspers mengenai filsafat yang menjelaskan eksistensi.
Bagi Jaspers, eksistensi mempunyai pemahamannya sendiri. Namun sebelum memahami pengertian eksistensi, perlu dipahami terlebih dahulu apa oleh Jaspers disebut situasi. Situasi bukannlah apa yang umum disebut sebagai situasi atau keadaan, tempat manusia berada. Manusia bergerak dalam kawasan hal-hal yang obyektif setiap hari. Dari hal tersebut, manusia berusaha untuk mencari penjelasan dan mendapatkan realitas yang sebenarnya demi mendapat kepastian. Namun usaha tersebut tidak memberi hasil. Dalam kenyataan, manusia selalu dihadapkan dengan hal-hal yang tanpa batas, tanpa sesuatu yang mendasari, sehingga manusia selalu dikacaukan. Manusia mulai menyadari yang sebenarnya yakni tidak memiliki alas berpijak, tanpa harapan. Situasi inilah yang sebenarnya secara eksistensial manusia dapat menemukan dirinya sendiri.
Pengalaman situasi ini merupakan suatu pengalaman reflektif, suatu pengalaman yang terus dipikirkan berulang-ulang. Dalam permenungan tersebut, manusia membuat jarak antara dirinya dengan segala hal yang objektif, dengan dunia. Inilah yang disebut sebagai hal yang eksistensial itu, ada jarak dari dunia yang objektif, yang tanpa batas, tanpa harapan, dan yang tidak dapat diraih ini, serta kembali kepada diri manusia itu sendiri, kepada situasi manusia itu. Jadi situasi adalah kenyataan bagi suatu subjek yang sebagai Dasein dimasukkan ke dalamnya. Bagi subyek, situasi berarti pembatasan atau ruang gerak. Setiap orang dapat mengubah dan menghindari situasi ini. Namun ada juga situasi yang mutlak, yang tidak dapat dihindari, yaitu situasi perbatasan (Grenz-situastion), yang menjadi kawasan yang tidak dapat ditembus, tidak dapat diketahui, dan hanya dapat dirasakan oleh eksistensi yaitu jikalau manusia berada di dalam situasi tertentu seperti kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan.[5] Manusia dapat tumbuh menjadi dirinya sendiri oleh karena keberanian untuk memasuki situasi perbatasan ini. Hanya situasi perbatasanlah yang mewujudkan keseluruhan eksistensi menjadi kenyataan.
Eksistensi bukanlah objek. Bagi Jaspers, eksistensi hanya dapat diterangi dengan menggunakan kategori-kategori sendiri seperti kebebasan, komunikasi, dan sejarah. Eksistensi diungkapkan sebagai perbuatan, sebagai pemilihan, sebagai kebebasan. Perbuatan yang terwujud dari diri manusia sendiri tanpa syarat menunjukkan bahwa sebenarnya manusia itu bebas. Di dalam pemilihan yang benar-benar bebas ini manusia menemukan siapa dirinya, manusia baru mengenal siapa dirinya.
Menurut Jaspers, eksistensi tidak dapat diwujudkan secara terpisah, tanpa ikatan eksistensial dengan eksistensi yang lain. Ikatan inilah yang disebut komunikasi, komunikasi eksistensial lebih tepatnya. Komunikasi eksistensial berbeda dengan komunikasi dalam pengertian umum. Komunikasi eksitensial lebih mendalam dan di dalamnya manusia membuka diri bagi sesamanya dan ada kepercayaan yang mendorong manusia untuk menyerahkan diri kepada sesamanya. Sumber komunikasi ini adalah cinta kasih. Manusia tidak dapat sampai kepada dirinya, jikalau tidak bersama-sama dengan orang lain.

Relevansi dan Solusi
Tawuran yang terjadi antarpelajar SMA maupun perguruan tinggi dapat dikaitkan dengan konsep eksistensi Karl Jaspers. Pendekatan yang utama dapat melalui dua hal yakni pengolahan situasi diri dan pengembangan komunikasi eksistensial.
Situasi memungkinkan manusia untuk sampai pada pengenalan diri yang sesungguhnya. Seperti yang dikatakan oleh Jaspers, situasi memungkinkan manusia mengenali dirinya sebab dalam situasi eksistensial manusia terus merenungi dirinya dan mengambil jarak dengan objek, dunia, dan segala yang berada di luar diri.
Dalam kaitan dengan tawuran antarpelajar, hal yang perlu mendapat tekanan yakni persoalan kurikulum pendidikan. Perlu diadakan kurikulum yang tidak hanya menekankan sisi intelektual tetapi juga sisi afektif. Pengakuan dari Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim, kasus tawuran sekarang menjadi momentum menata kembali kurikulum satuan pendidikan yang kini tengah dilakukan pemerintah. Penataan dilakukan dengan menyeimbangkan mata pelajaran pengetahuan, kemampuan, dan karakter atau sikap. Musliar mengakui, kurikulum yang berbasis kompentensi ini menyebabkan mata pelajaran kepada anak didik dinilai sangat berlebihan. Akibatnya, siswa didik terbebani.
Kurikulum yang menekankan afektif dapat membantu siswa untuk mengenali situasi yang dimaksud oleh Jaspers. Sebab dalam kurikulum berbasis afektif, yang menjadi tujuan yakni proses penyeimbangan antara ilmu yang didapat dengan akhlak yang harus diwujudkan. Siswa selalu dihadapkan pada ilmu-ilmu yang memiliki ideal tertentu sementara dalam keseharian ilmu-ilmu tersebut selalu dikonfrontasikan dengan realitas. Kesenjangan antara ilmu sebagai suatu yang ideal dengan realitas di lapangan membuat siswa enggan untuk menerapkan ilmu dalam kenyataan keseharian. Padahal bagi Jaspers, manusia terus-menerus dihadapkan pada realitas tanpa batas, tanpa pijakan, dan juga pada sesuatu yang ideal. Namun manusia tidak serta merta lari dari situasi begitu saja tetapi terus menerus mengambil jarak dan merefleksikannya. Pada siswa, ilmu-ilmu tersebut hendaknya selalu berdistansi dengan siswa dengan tujuan siswa mampu merenungi dan mengasah sisi afeksi.
Kaitan dengan komunikasi eksistensial yakni penekanan pada sumber komunikasi itu sendiri yang adalah cinta kasih. Dengan cinta kasih maka sangat dimungkinkan setiap anak didik menyadari keberadaanya dan tujuannya dalam proses pendidikan. Menjadi autentik bagi anak didik tidak lain adalah usaha penyelasaran antara aktifitas dan identitas. Dengan cinta kasih, anak didik bersama sesamanya berproses untuk mengenali diri sendiri dan pemahaman akan diri sendiri akan berujung pada aktifitas yang sesuai, yang seharusnya dilakukan.

Daftar Pustaka
Hadiwijono, Harun.1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
Hamersma, Harry.1990. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.
Van Der Weij, P. A. 1972. Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia. Jakarta: Gramedia.

Surat Kabar
Harian KOMPAS. 2012. “Sekolah Ramah Anak Atasi Tawuran”. Jakarta: KOMPAS.



[1] Suhartono.2012. “Sekolah Ramah Anak Atasi Tawuran”. Dalam KOMPAS, 19 Oktober 2012. Jakarta
[2] Ibid.
[3] LSM Peace Generation, Irfan Amalee, menyebut tiga kelas dalam tindak kekerasan yakni penindas, yang ditindas, dan penonton. Ketiga kelas ini menjadi unsur utama bullying dan menjadi bibit kekerasan.
[4] Bdk. Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat barat modern, Jakarta: Gramedia, 1990,Hlm. 118
[5] Bdk. Harun Hadiwijono, sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hlm. 170

0 comments:

Posting Komentar