Easy Going

Minggu, 28 April 2013

Idealisme Jerman (Sebuah Pengantar Filsafat)

Batasan idealisme
·         Etimologis
Idealisme berasal dari kata Idea; Eidos yang berarti gagasan, hal-hal yang berkaitan dengan mental. Ide ini  juga melalui realitas mental. Oleh sebab itu ada sebutan ‘mentalisme’.
Dengan demikian secara etimologis, idealisme berarti pandangan yang menekankan realitas mental sebagai realitas yang ada. Dengan kata lain: realitas mental adalah dasar dari realitas yang nyata.
·         Substansial
Idealisme berarti studi kritis/pemikiran filsafati yang menyatakan bahwa realitas yang benar adalah realitas mental. Dengan kata lain, satu-satunya realitas yang sah adalah realitas yang berdasarkan akal budi, selain itu dapat pula dikatakan idealisme merupakan pemikiran filsafat yang menyakini bahwa realitas yang sejati berawal dari realitas mental atau pemikiran filsafat yang menyakini bahwa kebenaran berasal dari subyek (asal-muasal kebenaran itu subyek). Dengan demikian dapat dikatakan kebenaran adalah pengetahuan yang sah dan pengetahuan yang sah adalah realitas yang benar.

Sejarah singkat
Idealisme klasik bermula dari Plato, namun filsafat Plato belum dapat disebut sebagai idealisme karena filsafat Plato masih tercampur-baur dengan 2 konsep filsafatnya yakni rasionalisme dan realisme. 
Idealisme Plato menyatakan bahwa realitas itu berasal dari dunia ide. Sementara makna ide menurut Plato berbeda dengan definisi ide pada idealisme. Perbedaan makna itu terletak pada:
·         Ide Plato disebut pula struktur ontologis, ide ada di dunia ide dan realitas konkret sebenarnya adalah bayangan, tiruan dari dunia ide. (struktur ontologis ialah dasar yang menyebabkan Ada)
·         Ide pada idealisme berarti bahwa kebenaran ada pada kita, ada pada subyek, ide tidak terpengaruh pada dunia di luar subyek.
Bagi Plato, ide itu seperti being-in-itself yang menjadi dasar dari being-for-itself. Pada tahap berikutnya, filasafat dari Immanuel Kant menyebut being-in-itself sebagai Noumena dan being-for-itself sebagai Fenomena. Fenomena tidak pernah ada tanpa noumena, kita sendiri pun tidak bisa tahu apa noumenanya, yang dapat kita ketahui hanya bayangannya/fenomennya/being-for-itself.  Dengan demikian ide Plato tidak dapat disamakan dengan ide yang ada pada otak kita (ide menurut idealisme), dan ide Plato itu tidak pernah bisa diketahui.

Idealisme sebagai aliran filsafat
Leibniz mulai memomulerkan aliran filafat-idealisme ini pada abad ke-18. Bagi Leibniz, ada realitas nyata yang bergantung pada mental. Pengetahuan sejati ialah pengetahuan mental atau aktifitas kegiatan mental. Realitas eksternal bergantung pada si subyek, tanpa si subyek tidak akan ada realitas mental. 
Setelah Leibniz, idealisme berkembang dalam gerakan baru yakni Idealisme Jerman.

Idealisme Jerman
Idealisme Jerman ialah gerakan intelektual dan budaya yang berlangsung selama 40 tahun (1790-1830). Gerakan pemikiran ini merambah bidang filsafat dan teologis. Gerakan ini sekaligus merupakan reaksi dari munculnya gerakan pencerahan (enlightment movement) yang dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804) dengan kata-katanya yang terkenal ‘Sapere Audere’ yang berarti beranilah berpikir.
Kekuatan akal budi diterima secara baik di Jerman. Disebut idealisme Jerman karena kenyataan/realitas itu identik dengan ide, gerakan ini sekaligus ingin merombak idealisme Plato. Apa yang disebut bayangan pada Plato itulah yang disebut IDE pada idealisme Jerman. Bayangan (Plato) adalah realitas yang nyata dan juga IDE itu sendiri. Bagi idealisme Jerman, rasio itu dasar/primordial mutlak dari kenyataan/realitas. Gerakan idealisme Jerman juga merupakan gerakan ketakbergantungan rasio pada realitas dan termasuk gerakan dominasi akal atas sensasi, ilmu-imu fisika, dan teologi natural.
Idealisme Jerman terbagi atas  empat jenis yakni idealisme transendental, idealisme subyektif, idealisme obyektif, dan idealisme absolut.

1.      Idealisme Transendental
Tokohnya ialah Immanuel Kant (1724-1804)
Dasar pemikiran Kant berangkat dari persoalan being yang telah disinggung Parmenides. Bagi Parmenides, being itu tetap dan sudah jelas. Berbeda dengan Heraklitus yang menyatakan bahwa being itu berubah, tidak tetap. Bagi Kant, being itu tidak jelas, tidak kelihatan dan dicerap indera.
Pengertian transendental berbeda dengan istilah transenden. Transenden berarti hubunga/relasi pada yang trans, pada yang luhur, berada jauh dari si subyek. Lawan dari transenden ialah imanen, yang berada dalam diri, ada di dalam subyek. Dengan demikian, transendental merupakan perpaduan antara yang jauh dengan yang dekat, menyatukan keduanya atau sintesis (perpaduan) antara konsep transenden dan konsep imanen. Tidak berarti transenden dan tidak pula berarti imanen. Sintesis ini dihasilkan melalui Pengujian Kritis Rasio.
Bagi Kant, apa yang disebut imanen adalah apa yang berada pada dunia dan transenden adalah apa yang berada pada si subyek. Filsafat Kant juga menjembatani dua aliran filsafat sebelumnya yakni rasionalisme (tokoh: Rene Descartes) dan empirisme (tokoh: David Hume). Dalam pemikiran Kant, subyek (rasionalisme) persisnya seperti intuisi,  intuisi murni yang adalah hal-hal apriori. Contoh intuisi murni yakni ruang dan waktu. Kita tidak dapat merasakan ruang dan waktu namun kita mengalaminya. Sementara, dunia (empirisme) adalah hal-hal obyektif yang kita alami. Dengan demikian, interaksi terjadi antara subyek yang mengeluarkan sesuatu dan dunia yang menawarkan sesuatu. Istilah being pun menjadi transendental being sebab menjembatani unsur-unsur apriori dan unsur-unsur aposteriori.
Kant beranggapan bahwa ada 3 tahap dalam proses pengetahuan murni yakni:
·         Pengalaman indrawi    : pengalaman yang langsung dicerap oleh indra (Verstand).
·         Akal                            : akal memberi gambaran-gambaran, mulai mengkategorikan (Vernung).
·         Rasio/Budi                  : mulai untuk mengambil kesimpulan.
Melalui tiga tahap ini dapat diperoleh pengetahuan murni. Idealisme transendental disebut pula idealisme kritis sebab dalam pengambilan kesimpulan, rasio melakukan autokritik (mengkritik dirinya sendiri agar penilaian menjadi murni) dan menyampingkan segala kencendrungan subyektif seperti minat, bakat, selera dsb. Metodenya disebut sintetik apriori.


2.      Idealisme Subyektif
Tokoh: Fichte (1762-1814)
Fichte adalah filsuf pertama yang mengembangkan serta mengenalkan istilah ‘dialektika’ (mengenalkan unsur tesis dan antitesis). Bagi Fichte, pemikiran idealisme subyektif ini berangkat dari tesis dan antitesis. Ego adalah tesis dan Non-Ego itu adalah antitesis sehingga sintesisnya ialah Ego Absolut.

Pemikiran umum
Ego itu adalah subyek sekaligus tesis sementara antitesisnya adalah dunia eksternal. Segala yang berada di luar Ego dan segala sesuatu yang bukan SAYA  adalah Non-Ego. Ego menampakkan diri dan dikenal oleh dunia serta berhadapan dengan dunia. Konsekuensinya yakni Ego mengetahui dirinya karena berhadapan dengan yang bukan Ego (Non-Ego). Saya adalah saya, saya menjadi saya karena ada sesuatu yang bukan saya.
Ego yang telah menjadi Aku, atas konfirmasi dari Non-Ego itulah yang disebut Ego Absolut. Ego absolut menjadi dasar bagi knowing subject. Semua pengetahuan merupakan produk dari knowing subject. Selalu ada interaksi dari Ego dan Non-Ego untuk menjadi Ego absolut yang merupakan dasar bagi knowing subject. Ego menentukan dunia eksternal, dunia ada karena ada Aku. Aku menentukan dan mengkonfirmasi adanya sesuatu.

3.      Idealisme Objektif
Tokoh : Schelling (1775-1854)
Bagi Schelling, Ego (menurut pemahaman Fichte) pasti memerlukan Non-Ego. Sebab tidak ada subyek tanpa obyek dan sebaliknya, obyek tanpa subyek.  Kosekuensinya yakni IDE sama seperti dengan gambaran-gambaran mental. Ide yang berada pada subyek atau gambaran mental ini sama dengan obyek. Dengan demikian subyek adalah obyek itu sendiri. Subyek (the ideal) sama dengan obyek (the real). Apa yang ada nyata sama seperti apa yang ada di pikiran.
Berangkat dari pemikirannya, Schelling menyebut alam semesta/dunia eksternal ini dengan istilah intelegensi yang kelihatan. Ia menyebut Ego sebagai natura naturans dan Non-Ego sebagai natura naturata. Alam yang sama itu adalah alam yang diciptakan sekaligus alam yang menciptakan.
Dengan demikian ego itu ada di realitas dan obyektif, bukan ada pada subyek dan subyektif. Sementara subyek itu berada dalam obyek itu sendiri.

4.      Idealisme Absolut
Tokoh : G.W.F Hegel (1770-1831)
Immanuel Kant berakhir dengan kesimpulan dualisme-nya yakni noumena dan fenomena sementara filsafat Hegel ingin menyempurnakan filsafat Immanuel Kant. Titik tolak filsafat Hegel adalah kesimpulan dari filsafat Kant.
Bagi Hegel, Fichte terlalu menekankan peranan Ego (idealisme subyektif) sementara Schelling menekankan peran alam. Justru dua dasar ini dapat didialektikakan, antara alam dengan subyek dan menghasilkan realitas sejati sebagai sintesisnya.
Idealisme absolut ini hendak mengatasi idealisme subyektif dan idealisme obyektif dalam rangka menyempurnakan idealisme transendental. Disebut idealisme absolut karena berasal dari Ide Absolut/Roh Absolut. Roh absolut ini berdialektika sehingga menjadi tampak dan terlihat dari abstrak universal menuju konkret universal. Persisnya ada 3 tahap realisasi roh dari abstrak universal ke konkret universal, yakni:

·         Ketika roh berada dalam keadaan Ada dalam Dirinya Sendiri.
Roh yang berada dalam dirinya sendiri, ilmunya disebut Logika. Roh itu adalah Ada, Being berdialektika dengan Nothing sehingga menghasilkan tesis becoming. Apa yang noumena merupakan logika. Logika itu sesuatu yang tidak menambah kesimpulan sebab berasal dari dua premis, berasal dari dirinya sendiri. Namun pada saat yang sama yang ada dalam dirinya sendiri itu tidak ada. Being sama dengan nothing; ada tapi tidak ada. Ini yang disebut oleh Kant dengan istilah das Ding an sich (benda pada dirinya sendiri).

·         Being itu berbeda dengan dirinya sendiri
Roh itu berbeda dengan dirinya sendiri dan merealisasikan diri pada sesuatu yang bukan dari roh itu sendiri. Ilmu filsafatnya disebut filsafat alam atau kosmologi. Ide yang absolut keluar dari dirinya sendiri lalu masuk ke dalam alam spasial-temporal. Dengan begitu, alam itu penjelmaan dari roh  absolut dalam keadaan yang ada dan nyata. Penampakan yang ada itu bukan roh absolut, yang dapat diketahui yakni penjelmaanya barulah dari penjelmaanya ini dikenal roh absolut.



·         Roh absolut berada dalam dirinya dan bagi dirinya sendiri
Ilmu filsafat yang mempelajarinya adalah filsafat Roh. Being in itself sekaligus being for itself. Terbagi atas 3 tahap, yakni:

1.      Ada roh subyektif
Pada tingkat subyektif masih dibalut oleh alam, bersifat individual dan mulai berproses dari luar dirinya sendiri menuju dirinya. Roh ini merupakan bagian dari alam dan terjelma dalam manusia.

2.      Ada roh obyektif
Roh menjelma bukan pada individu melainkan pada komunitas kolektif sehingga muncul dalam moralitas, etika, dan hukum. Adanya lembaga, institusi, keluarga, massa, dan negara merupakan penjelmaannya.

3.      Ada roh absolut
Puncak penjelmaan roh itu adalah filsafat. Filsafat itu sintesis dari dialektika seni dan agama. Filsafat menyuguhkan apa yang riil sama dengan apa yang rasional (the real = the rational). Yang mutlak ada diamati dalam seni dan dipahami dalam agama berada pada filsafat. Ada pemikiran murni dan keduanya dipahami secara murni pula.

Geist (Roh absolut) merupakan sintesis dari Idea Plato dengan telos (tujuan) dari Aristoteles. Idea plato yang adalah roh absolut berdialektika terus-menerus hingga sesuai dengan telos.

Implikasi dari Idealisme
·         Idealisme itu berbicara tentang tujuan semesta, semesta memiliki tujuan. Tafsiran ilmu empiris dianggap terbatas. Bagi idealisme, ilmu empiris hanya merupakan data-data konkret, tidak memercayai adanya Roh yang mendasari gerakan ini.
   Bagi idealisme, Tuhan itu hanya sebatas jaminan eksistensi dunia sehingga tak ada relasi manusia dengan Tuhan. Segala yang berkaitan dengan rohani seperti doa-doa, kegiatan spritual dsb tidak mendapat perhatian khusus. Eksistensi Tuhan tetap diakui hanya saja berfungsi sebagai penjamin eksistensi, tidak ada relasi khusus.
   Idealisme memberi landasan moral yang objektif, karena manusia digerakkan sesuai dengan apa yang ada pada visi dan misinya. Visi ini pastilah visi roh obyektif. Menurut satu orang ini benar maka roh yang sama itu tidak akan menyangkal dirinya.

Catatan kritis bagi idealisme
  • ·      Kekuatan ide terletak pada penekanan pribadi manusia dan segi mental/segi spiritual. Sementara ada realitas yang non-material, yang mempunyai unsur-unsur non-material.
  • ·         Ide cocok untuk orang-orang yang menyukai hal-hal spiritual.
  • ·         Idealisme ini terlalu abstrak dan kurang ilmiah.
  • ·       Alam yang adalah apa yang kita pikirkan sementara dalam kenyataannya ada hal-hal yang tidak masuk akal. Harusnya semua masuk akal karena berasal dari satu akal.
  • ·   Idealisme mencampuradukan gagasan dan kenyataan, apa yang riil dan apa yang rasional disama-ratakan.
  • ·       Geist (roh) adalah idea yang membiarkan hal-hal negatif sebagai proses menuju kesempurnaan. Dalam kasus kejahatan, idealisme menganggap kejahatan disahkan dan dianggap sebagai bagian menuju kebaikan (penyempurnaan realitas).

 Sumber:
 Mata Kuliah Pengantar Filsafat (Berbagai Aliran Filsafat), Fakultas Filsafat Unpar



0 comments:

Posting Komentar