Batasan
idealisme
·
Etimologis
Idealisme berasal dari kata Idea; Eidos yang berarti
gagasan, hal-hal yang berkaitan dengan mental. Ide ini juga melalui realitas mental. Oleh sebab itu
ada sebutan ‘mentalisme’.
Dengan demikian secara etimologis, idealisme berarti
pandangan yang menekankan realitas mental sebagai realitas yang ada. Dengan
kata lain: realitas mental adalah dasar dari realitas yang nyata.
·
Substansial
Idealisme berarti studi kritis/pemikiran filsafati
yang menyatakan bahwa realitas yang benar adalah realitas mental. Dengan kata
lain, satu-satunya realitas yang sah adalah realitas yang berdasarkan akal
budi, selain itu dapat pula dikatakan idealisme merupakan pemikiran filsafat
yang menyakini bahwa realitas yang sejati berawal dari realitas mental atau
pemikiran filsafat yang menyakini bahwa kebenaran berasal dari subyek
(asal-muasal kebenaran itu subyek). Dengan demikian dapat dikatakan kebenaran
adalah pengetahuan yang sah dan pengetahuan yang sah adalah realitas yang
benar.
Sejarah
singkat
Idealisme klasik bermula dari Plato, namun filsafat
Plato belum dapat disebut sebagai idealisme karena filsafat Plato masih
tercampur-baur dengan 2 konsep filsafatnya yakni rasionalisme dan
realisme.
Idealisme Plato menyatakan bahwa realitas itu
berasal dari dunia ide. Sementara makna ide menurut Plato berbeda dengan
definisi ide pada idealisme. Perbedaan makna itu terletak pada:
·
Ide Plato disebut pula struktur
ontologis, ide ada di dunia ide dan realitas konkret sebenarnya adalah
bayangan, tiruan dari dunia ide. (struktur ontologis ialah dasar yang
menyebabkan Ada)
·
Ide pada idealisme berarti bahwa kebenaran
ada pada kita, ada pada subyek, ide tidak terpengaruh pada dunia di luar
subyek.
Bagi Plato, ide itu seperti being-in-itself yang menjadi dasar dari being-for-itself. Pada tahap berikutnya, filasafat dari Immanuel
Kant menyebut being-in-itself sebagai
Noumena dan being-for-itself sebagai
Fenomena. Fenomena tidak pernah ada tanpa noumena, kita sendiri pun tidak bisa
tahu apa noumenanya, yang dapat kita ketahui hanya bayangannya/fenomennya/being-for-itself. Dengan demikian ide Plato tidak dapat
disamakan dengan ide yang ada pada otak kita (ide menurut idealisme), dan ide
Plato itu tidak pernah bisa diketahui.
Idealisme
sebagai aliran filsafat
Leibniz mulai memomulerkan aliran filafat-idealisme
ini pada abad ke-18. Bagi Leibniz, ada realitas nyata yang bergantung pada
mental. Pengetahuan sejati ialah pengetahuan mental atau aktifitas kegiatan
mental. Realitas eksternal bergantung pada si subyek, tanpa si subyek tidak
akan ada realitas mental.
Setelah Leibniz, idealisme berkembang dalam gerakan
baru yakni Idealisme Jerman.
Idealisme
Jerman
Idealisme Jerman ialah gerakan intelektual dan
budaya yang berlangsung selama 40 tahun (1790-1830). Gerakan pemikiran ini
merambah bidang filsafat dan teologis. Gerakan ini sekaligus merupakan reaksi
dari munculnya gerakan pencerahan (enlightment
movement) yang dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804) dengan
kata-katanya yang terkenal ‘Sapere
Audere’ yang berarti beranilah berpikir.
Kekuatan akal budi diterima secara baik di Jerman.
Disebut idealisme Jerman karena kenyataan/realitas itu identik dengan ide,
gerakan ini sekaligus ingin merombak idealisme Plato. Apa yang disebut bayangan
pada Plato itulah yang disebut IDE pada idealisme Jerman. Bayangan (Plato)
adalah realitas yang nyata dan juga IDE itu sendiri. Bagi idealisme Jerman,
rasio itu dasar/primordial mutlak dari kenyataan/realitas. Gerakan idealisme
Jerman juga merupakan gerakan ketakbergantungan rasio pada realitas dan
termasuk gerakan dominasi akal atas sensasi, ilmu-imu fisika, dan teologi
natural.
Idealisme Jerman terbagi atas empat jenis yakni idealisme transendental, idealisme subyektif, idealisme obyektif, dan
idealisme absolut.
1.
Idealisme
Transendental
Tokohnya ialah Immanuel Kant (1724-1804)
Dasar pemikiran Kant berangkat dari persoalan being
yang telah disinggung Parmenides. Bagi Parmenides, being itu tetap dan sudah
jelas. Berbeda dengan Heraklitus yang menyatakan bahwa being itu berubah, tidak
tetap. Bagi Kant, being itu tidak jelas, tidak kelihatan dan dicerap indera.
Pengertian transendental berbeda dengan istilah
transenden. Transenden berarti hubunga/relasi pada yang trans, pada yang luhur,
berada jauh dari si subyek. Lawan dari transenden ialah imanen, yang berada
dalam diri, ada di dalam subyek. Dengan demikian, transendental merupakan
perpaduan antara yang jauh dengan yang dekat, menyatukan keduanya atau sintesis
(perpaduan) antara konsep transenden dan konsep imanen. Tidak berarti
transenden dan tidak pula berarti imanen. Sintesis ini dihasilkan melalui
Pengujian Kritis Rasio.
Bagi Kant, apa yang disebut imanen adalah apa yang
berada pada dunia dan transenden adalah apa yang berada pada si subyek.
Filsafat Kant juga menjembatani dua aliran filsafat sebelumnya yakni
rasionalisme (tokoh: Rene Descartes) dan empirisme (tokoh: David Hume). Dalam
pemikiran Kant, subyek (rasionalisme) persisnya seperti intuisi, intuisi murni yang adalah hal-hal apriori.
Contoh intuisi murni yakni ruang dan waktu. Kita tidak dapat merasakan ruang
dan waktu namun kita mengalaminya. Sementara, dunia (empirisme) adalah hal-hal
obyektif yang kita alami. Dengan demikian, interaksi terjadi antara subyek yang
mengeluarkan sesuatu dan dunia yang menawarkan sesuatu. Istilah being pun
menjadi transendental being sebab menjembatani unsur-unsur apriori dan
unsur-unsur aposteriori.
Kant beranggapan bahwa ada 3 tahap dalam proses
pengetahuan murni yakni:
·
Pengalaman indrawi : pengalaman yang langsung dicerap oleh
indra (Verstand).
·
Akal :
akal memberi gambaran-gambaran, mulai mengkategorikan (Vernung).
·
Rasio/Budi : mulai untuk mengambil kesimpulan.
Melalui tiga tahap ini dapat diperoleh pengetahuan
murni. Idealisme transendental disebut pula idealisme kritis sebab dalam
pengambilan kesimpulan, rasio melakukan autokritik (mengkritik dirinya sendiri
agar penilaian menjadi murni) dan menyampingkan segala kencendrungan subyektif
seperti minat, bakat, selera dsb. Metodenya disebut sintetik apriori.
2.
Idealisme
Subyektif
Tokoh: Fichte (1762-1814)
Fichte adalah filsuf pertama yang mengembangkan
serta mengenalkan istilah ‘dialektika’ (mengenalkan unsur tesis dan antitesis).
Bagi Fichte, pemikiran idealisme subyektif ini berangkat dari tesis dan
antitesis. Ego adalah tesis dan Non-Ego itu adalah antitesis sehingga
sintesisnya ialah Ego Absolut.
Pemikiran
umum
Ego itu adalah subyek sekaligus tesis sementara
antitesisnya adalah dunia eksternal. Segala yang berada di luar Ego dan segala
sesuatu yang bukan SAYA adalah Non-Ego.
Ego menampakkan diri dan dikenal oleh dunia serta berhadapan dengan dunia.
Konsekuensinya yakni Ego mengetahui dirinya karena berhadapan dengan yang bukan
Ego (Non-Ego). Saya adalah saya, saya menjadi saya karena ada sesuatu yang
bukan saya.
Ego yang telah menjadi Aku, atas konfirmasi dari
Non-Ego itulah yang disebut Ego Absolut. Ego absolut menjadi dasar bagi knowing subject. Semua pengetahuan
merupakan produk dari knowing subject.
Selalu ada interaksi dari Ego dan Non-Ego untuk menjadi Ego absolut yang
merupakan dasar bagi knowing subject.
Ego menentukan dunia eksternal, dunia ada karena ada Aku. Aku menentukan dan
mengkonfirmasi adanya sesuatu.
3.
Idealisme
Objektif
Tokoh : Schelling (1775-1854)
Bagi Schelling, Ego (menurut pemahaman Fichte) pasti
memerlukan Non-Ego. Sebab tidak ada subyek tanpa obyek dan sebaliknya, obyek
tanpa subyek. Kosekuensinya yakni IDE
sama seperti dengan gambaran-gambaran mental. Ide yang berada pada subyek atau
gambaran mental ini sama dengan obyek. Dengan demikian subyek adalah obyek itu
sendiri. Subyek (the ideal) sama dengan obyek (the real). Apa yang ada nyata
sama seperti apa yang ada di pikiran.
Berangkat dari pemikirannya, Schelling menyebut alam
semesta/dunia eksternal ini dengan istilah intelegensi
yang kelihatan. Ia menyebut Ego sebagai natura
naturans dan Non-Ego sebagai natura
naturata. Alam yang sama itu adalah alam yang diciptakan sekaligus alam
yang menciptakan.
Dengan demikian ego itu ada di realitas dan
obyektif, bukan ada pada subyek dan subyektif. Sementara subyek itu berada
dalam obyek itu sendiri.
4.
Idealisme
Absolut
Tokoh : G.W.F Hegel (1770-1831)
Immanuel Kant berakhir dengan kesimpulan
dualisme-nya yakni noumena dan fenomena sementara filsafat Hegel ingin
menyempurnakan filsafat Immanuel Kant. Titik tolak filsafat Hegel adalah
kesimpulan dari filsafat Kant.
Bagi Hegel, Fichte terlalu menekankan peranan Ego
(idealisme subyektif) sementara Schelling menekankan peran alam. Justru dua
dasar ini dapat didialektikakan, antara alam dengan subyek dan menghasilkan realitas sejati sebagai sintesisnya.
Idealisme absolut ini hendak mengatasi idealisme
subyektif dan idealisme obyektif dalam rangka menyempurnakan idealisme
transendental. Disebut idealisme absolut karena berasal dari Ide Absolut/Roh
Absolut. Roh absolut ini berdialektika sehingga menjadi tampak dan terlihat
dari abstrak universal menuju konkret universal. Persisnya ada 3 tahap
realisasi roh dari abstrak universal ke konkret universal, yakni:
·
Ketika roh berada dalam keadaan Ada
dalam Dirinya Sendiri.
Roh yang berada dalam dirinya sendiri,
ilmunya disebut Logika. Roh itu adalah Ada, Being
berdialektika dengan Nothing sehingga
menghasilkan tesis becoming. Apa yang
noumena merupakan logika. Logika itu sesuatu yang tidak menambah kesimpulan
sebab berasal dari dua premis, berasal dari dirinya sendiri. Namun pada saat
yang sama yang ada dalam dirinya sendiri
itu tidak ada. Being sama dengan nothing; ada tapi tidak ada. Ini yang disebut oleh Kant dengan istilah das Ding an sich (benda pada dirinya
sendiri).
·
Being
itu
berbeda dengan dirinya sendiri
Roh itu berbeda dengan dirinya sendiri
dan merealisasikan diri pada sesuatu yang bukan dari roh itu sendiri. Ilmu filsafatnya
disebut filsafat alam atau kosmologi. Ide yang absolut keluar dari dirinya
sendiri lalu masuk ke dalam alam spasial-temporal. Dengan begitu, alam itu
penjelmaan dari roh absolut dalam
keadaan yang ada dan nyata. Penampakan yang ada itu bukan roh absolut, yang
dapat diketahui yakni penjelmaanya barulah dari penjelmaanya ini dikenal roh
absolut.
·
Roh absolut berada dalam dirinya dan
bagi dirinya sendiri
Ilmu filsafat yang mempelajarinya adalah
filsafat Roh. Being in itself sekaligus
being for itself. Terbagi atas 3
tahap, yakni:
1. Ada
roh subyektif
Pada tingkat subyektif masih dibalut
oleh alam, bersifat individual dan mulai berproses dari luar dirinya sendiri
menuju dirinya. Roh ini merupakan bagian dari alam dan terjelma dalam manusia.
2. Ada
roh obyektif
Roh menjelma bukan pada individu
melainkan pada komunitas kolektif sehingga muncul dalam moralitas, etika, dan
hukum. Adanya lembaga, institusi, keluarga, massa, dan negara merupakan penjelmaannya.
3. Ada
roh absolut
Puncak penjelmaan roh itu adalah
filsafat. Filsafat itu sintesis dari dialektika seni dan agama. Filsafat
menyuguhkan apa yang riil sama dengan apa yang rasional (the real = the rational). Yang mutlak ada diamati dalam seni dan
dipahami dalam agama berada pada filsafat. Ada pemikiran murni dan keduanya
dipahami secara murni pula.
Geist (Roh
absolut) merupakan sintesis dari Idea Plato dengan telos (tujuan) dari
Aristoteles. Idea plato yang adalah roh absolut berdialektika terus-menerus
hingga sesuai dengan telos.
Implikasi
dari Idealisme
·
Idealisme itu berbicara tentang tujuan
semesta, semesta memiliki tujuan. Tafsiran ilmu empiris dianggap terbatas. Bagi
idealisme, ilmu empiris hanya merupakan data-data konkret, tidak memercayai
adanya Roh yang mendasari gerakan ini.
Bagi idealisme, Tuhan itu hanya sebatas
jaminan eksistensi dunia sehingga tak ada relasi manusia dengan Tuhan. Segala
yang berkaitan dengan rohani seperti doa-doa, kegiatan spritual dsb tidak
mendapat perhatian khusus. Eksistensi Tuhan tetap diakui hanya saja berfungsi
sebagai penjamin eksistensi, tidak ada relasi khusus.
Idealisme memberi landasan moral yang
objektif, karena manusia digerakkan sesuai dengan apa yang ada pada visi dan
misinya. Visi ini pastilah visi roh obyektif. Menurut satu orang ini benar maka
roh yang sama itu tidak akan menyangkal dirinya.
Catatan
kritis bagi idealisme
- · Kekuatan ide terletak pada penekanan pribadi manusia dan segi mental/segi spiritual. Sementara ada realitas yang non-material, yang mempunyai unsur-unsur non-material.
- · Ide cocok untuk orang-orang yang menyukai hal-hal spiritual.
- · Idealisme ini terlalu abstrak dan kurang ilmiah.
- · Alam yang adalah apa yang kita pikirkan sementara dalam kenyataannya ada hal-hal yang tidak masuk akal. Harusnya semua masuk akal karena berasal dari satu akal.
- · Idealisme mencampuradukan gagasan dan kenyataan, apa yang riil dan apa yang rasional disama-ratakan.
- · Geist (roh) adalah idea yang membiarkan hal-hal negatif sebagai proses menuju kesempurnaan. Dalam kasus kejahatan, idealisme menganggap kejahatan disahkan dan dianggap sebagai bagian menuju kebaikan (penyempurnaan realitas).
Sumber:
Mata Kuliah Pengantar Filsafat (Berbagai Aliran Filsafat), Fakultas Filsafat Unpar
Mata Kuliah Pengantar Filsafat (Berbagai Aliran Filsafat), Fakultas Filsafat Unpar
0 comments:
Posting Komentar