Batu
pijak pertama untuk membangun karakter ialah pembelajaran. Pembelajaran yang
bukan hanya dimulai sejak duduk di bangku sekolah, melainkan semenjak individu
menjadi partisipan akif kehidupan.
Proses
pembelajaran membentuk seseorang menjadi lebih manusiawi dan berujung pada
hasil pribadi yang mandiri dan dewasa. Pembelajaran bukan soal daya eksplor
diri untuk memperoleh pengetahuan sebanyak mungkin, juga bukan soal pertahanan
argumen melalui pengetahuan terkait. Pembelajaran menggiring pengetahuan pada
individu untuk diwujudkan secara konkret dalam kehidupan. Pembelajaran selalu
berangkat dari hal yang paling sederhana. Individu memulainya dari masa dini
atau kanak-kanak. Secara umum, beberapa hal yang menjadi ciri pembelajaran pada
masa kanak-kanak diantaranya berkaitan soal kemampuan yang mencakup tiga hal: pengetahuan
(know-what, knowledge), sikap (know-why, attitude), dan keterampilan (know-how, skill).
Anak
memiliki pengetahuan terbatas dan
berbanding terbalik dengan daya kuriusitasnya. Hal ini ditandai dengan ekspresi
kuriusitas yang tinggi dan pertanyaan-pertanyaan yang terkadang di luar nalar
logis. Pengetahuan yang dimiliki masih amat terbatas, pengetahuan mengenai
alam, sesama, dan bahkan dirinya sendiri. Selain pengetahuan, masa pembelajaran
kanak-kanak berkaitan dengan sikap yang dibangun. Umumnya, kanak-kanak belum
dapat menentukan sikap secara jelas. Kemampuan untuk mengkritisi berbagai hal
masih dalam taraf pengenalan postif dan negatif dan cenderung untuk melakukan
apa yang menjadi kesenangannya. Penanda lain pada pembelajaran dini terdapat
pada kemampuan. Kemampuan individu pada masa kanak-kanak belum terkelompok
secara jelas. Umumnya, individu hanya mengembangkan kemampuan secara umum
seperti berlari, berteriak, memanjat, memukul, dan tindakan lainnya.
Sebelum
memasuki masa pendidikan secara formal, kanak-kanak memperoleh pembelajarannya
melalui pengalaman. Pengalaman dapat dikatakan sebagai pendidik pertama dan
pengetahuan alami yang mengakar dalam individu. Sementara, orang tua,
lingkungan, dan faktor eksternal lainnya hanya sebagai pendukung. Dalam
pandangannya, Sokrates menegaskan bahwa faktor eksternal hanyalah bidan yang
membantu ibu (kanak-kanak) untuk melahirkan bayi-kebenaran.[1] Benih
pemahaman dan pengetahuan secara tak sadar memang sudah terkandung dalam diri
si anak.
Perkembangan selanjutnya, pembelajaran dini ini membawa konsekuensi dalam kerangka menjadi manusia dewasa dan mandiri. Pembelajaran pada masa dewasa ditandai dengan pemberontakan dan gejala keraguan. Individu secara bebas menolak pendiktean dan pemaksaan kehendak dari apa pun yang berada di luar dirinya. Umumnya pula, individu dewasa selalu mencurigai, meragukan, dan bahkan tidak menerima begitu saja segala pengetahuan dan argumentasi di luar dirinya.
Perkembangan selanjutnya, pembelajaran dini ini membawa konsekuensi dalam kerangka menjadi manusia dewasa dan mandiri. Pembelajaran pada masa dewasa ditandai dengan pemberontakan dan gejala keraguan. Individu secara bebas menolak pendiktean dan pemaksaan kehendak dari apa pun yang berada di luar dirinya. Umumnya pula, individu dewasa selalu mencurigai, meragukan, dan bahkan tidak menerima begitu saja segala pengetahuan dan argumentasi di luar dirinya.
Pembentukan
karakter individu dewasa sangat ditentukan oleh pembelajaran sejak dini. Pada
dasarnya, benih pengetahuan sudah terkandung dalam rahim pikiran individu. Para
pendidik sejati tidak serta merta mentransfer benih-benih tersebut, tetapi
lebih dari itu, pendidik membantu individu untuk menemukan sendiri dan
merasakan aura pengetahuan yang ia temukan sendiri.
Sumber Pustaka:
Harefa, Andrias. 2000. Menjadi Manusia Pembelajar (On Becoming A Learner). Jakarta: Penerbit
Kompas
Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius
[1] Sokrates (470-399 SM), filsuf
Athena, guru dari Plato yang memperkenalkan metode maieutike tekhne (seni kebidanan). Metode ini hendak menyatakan
bahwa Sokrates sendiri (dalam hal ini pengajar) tidak menyampaikan pengetahuan
tetapi melalui pertanyaan-pertanyaannya, ia membidani pengetahuan yang terdapat
dalam jiwa orang lain (Lih. K. Bertens:Sejarah
Filsafat Yunani, hlm. 106).
0 comments:
Posting Komentar